NANGA BULIK – Sengketa lahan antara PT Satria Hupasarana (SHS) dan Masrumsyah Cs tak kunjung menemui titik temu. Berbagai upaya mediasi yang dilakukan oleh Pemkab Lamandau, Polres Lamandau, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Lamandau, dan pihak terkait pun seperti tidak diindahkan. Puncaknya, Polres Lamandau mengundang Pemkab Lamandau, Ahli Hukum Pidana, Kiki Kristianto, SH, MH, dan Ahli Hukum Perdata, Joanita Jalianery, SH, MH, beserta pihak terkait untuk mendengarkan paparan hukum terkait penyelesaikan persoalan tersebut.
Berdasarkan kesepakatan hasil rapat koordinasi yang dilakukan Senin, 21 November 2022, di Aula Satuan Reserse Kriminal Polres Lamandau, maka diperoleh poin-poin penting sebagai berikut, bahwa putusan Pengadilan negeri Pangkalan Bun Nomor.09/Pdt.G/2012/PN.P.Bun tanggal 14 Agustus 2012 Juncto Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor.16/PDT/2013/PT.PR tanggal 5 September 2013 Juncto Putusan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 2979 K/Pdt/2013 tanggal 4 Januari 2016.
Isi putusan menyatakan pada pokoknya bahwa tidak dapat diterimanya gugatan penggugat konvensi (PT SHS) oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya dan ditolaknya permohonan kasasi (PT SHS), NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka perkara antara PT SHS dan Masrumsyah CS keadaannya kembali seperti sebelum adanya gugatan tersebut.
Untuk memperoleh kepastian hukum terhadap obyek sengketa yang terjadi antara pihak tersebut, maka para pihak dapat mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Negeri setempat. Sementara itu berdasarkan data notulen rapat yang diperoleh, hasil kesepakatan adalah sebagai berikut, dari hasil putusan perkara Perdata antara PT SHS dan Masrumsyah, Dkk, dengan hasil yang mana para pihak dapat mengajukan gugatan kembali terhadap hak atas tanah yang disengketakan.
Dapat dilakukan mediasi antara PT. SHS dengan masyarakat yang bertujuan untuk menyamakan persepsi dan memberikan pemahaman terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, dan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari hasil putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat diterapkan Azas Pemisah (Horizontal) terkait dengan hubungan antara tanah yang disengketakan dengan tanaman yang tumbuh diatasnya.
Diberikan jangka waktu 1 (satu) minggu paling lambat 28 November 2022 untuk PT. SHS dan masyarakat (DPP/DPD BSP) untuk memberikan tanggapan secara resmi terkait pengajuan gugatan baru terhadap hak atas tanah yang disengketakan kepada Pemkab Lamandau/Polres Lamandau. Selanjutnya diharapkan agar PT SHS dan masyarakat (DPP/DPD BSP) tidak melakukan perbuatan pemanenan, menduduki atau pemortalan di dalam lahan yang disengketakan seluas 486,76 hektare di Desa Bukit Raya dan Bukit Makmur. Mana kala dilakukan perbuatan tersebut berimplikasi pada proses penegakan hukum secara kebijakan hukum pidana (penal).
Secara terpisah, Kepala Biro Pertanahan dan Keamanan Adat Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah, Ingkit Djaper saat dikonfirmasi, Selasa (22/11/2022) menyampaikan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak termasuk Polres Lamandau dan Ketua DAD Kabupaten Lamandau, Hendra Lesmana.
Menurut Hendra Lesmana yang juga Bupati Lamandah ini, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk melakukan mediasi terkait persoalan tersebut.
Bahwa persoalan tersebut tidak berhubungan dengan tanah adat atau persoalan adat tetapi murni persoalan Hukum Perdata.
“Sengketa lahan PT SHS dan Masrumsyah Cs tersebut bukan menyangkut masalah adat atau tanah adat. Hasil koordinasi dan komunikasi degan pihak terkait nanti akan kita sampaikan kepada Ketua Umum DAD Kalteng sebagaimana isi dari surat tugas yang diberikan,” ujar Ingkit singkat.(sip/*/cen)