PALANGKA RAYA – Rekayasa cuaca telah dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG) bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan TNI AU. Memanfaatkan potensi awan yang ada, yakni pada tanggal 6 hingga 15 Juli 2024. Hal itu untuk meminimalisir kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Menanggapi hujan yang baru-baru ini terjadi di Kota Palangka Raya, Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPB-PK) Kalteng, Ahmad Toyib melalui Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, Alpius Patanan, mengungkapkan bahwa hujan di Kalteng baru-baru ini merupakan fenomena alami, berbeda dari Kalimantan Selatan yang telah melakukan modifikasi cuaca. Dampak modifikasi cuaca di Kalteng belum sepenuhnya diketahui.
Dalam upaya pengendalian dan penanggulangan karhutla, pihaknya mengaku telah memulai berbagai langkah proaktif sejak awal 2024, sesuai arahan dari Gubernur Kalteng.
“Langkah awal kami meliputi penguatan sarana, prasarana, dan personel di BPBD,” jelasnya, baru-baru ini.
Diterangkannya sejak 11 Juli 2024, BPBD Kalteng telah mengaktifkan 60 pos lapangan di 14 kabupaten kota.
“Pos-pos ini bertugas melakukan patroli, sosialisasi, edukasi, serta pemadaman jika ditemukan titik api,” ujarnya.
Bulan Agustus diperkirakan sebagai puncak musim kemarau menurut prakiraan BMKG. BPBD Kalteng telah mengusulkan untuk menetapkan status siaga bencana karhutla guna memastikan alokasi sumber daya manusia (SDM), peralatan, dan lainnya maksimal, mengikuti komitmen Gubernur Kalteng untuk menjaga wilayah bebas dari kabut asap.
“Musim kemarau di Kalteng dimulai pada 11 Juli 2024 dan diperkirakan berlangsung selama 90 hari, dengan puncaknya pada Agustus,” tambah Alpius.
Status siaga provinsi dapat ditetapkan, jika setidaknya dua kabupaten kota sudah menetapkan status siaga. Saat ini, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan telah mengumumkan status tersebut, sehingga BPBD Kalteng siap untuk mengusulkan status siaga provinsi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, data dari aplikasi BRIN Fire Hotspot menunjukkan bahwa sejak 1 Januari hingga 30 Juli 2024, terdapat 940 hotspot di wilayah Kalteng, dengan 409 di antaranya terdeteksi pada bulan Juli, atau 43,5 persen dari total hotspot. Sementara itu, kejadian karhutla yang tercatat sebanyak 177 kali, dengan 118 kejadian terjadi pada bulan Juli, atau 66,67 persen dari total kejadian karhutla. Lalu, luas lahan yang terbakar mencapai 374,69 hektar, dengan 290,449 hektar di antaranya terjadi pada bulan Juli, atau 77,52 persen dari total luas lahan.
Kejadian karhutla terbanyak tercatat di Kota Palangka Raya dengan 48 kejadian, sedangkan luas lahan terbakar terbesar terdapat di Kabupaten Sukamara. Kabupaten Katingan mencatat jumlah hotspot tertinggi dengan 184 titik.
“Peningkatan kejadian karhutla pada bulan Juli disebabkan oleh musim kemarau awal, aktivitas yang berpotensi menyebabkan kebakaran, dan kondisi yang cenderung kering,” jelasnya.
Pemantauan kondisi lahan gambut juga terus dilakukan menggunakan alat tinggi muka air tanah. Alpus menyebut, dari 13 stasiun pemantauan, 9 menunjukkan warna merah yang berarti rawan terbakar. Beberapa daerah bahkan mengalami kekeringan parah, dengan air tanah turun hingga minus 1 meter.
“Di wilayah Tanjung Taruna, kondisi masih rawan dengan warna kuning, sementara di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Arut Selatan, kondisinya sangat kering,” tambahnya.
Musim kemarau tahun ini lebih pendek dibandingkan tahun lalu, dan hal ini menjadi tantangan tersendiri. Alpius menekankan bahwa kunci utama pengendalian karhutla adalah koordinasi yang baik di lapangan, pemetaan yang tepat, serta personel yang memadai.
“Sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pencegahan dini terhadap kebakaran. Jika kebakaran terjadi, respons cepat sangat diperlukan,” tutupnya. (ifa/cen)