Gubernur Kalteng Ajak Pengusaha Perangi Kemiskinan dan Kebodohan

gubernur
Gubernur Kalteng, H. Sugianto Sabran. FOTO: IST

PALANGKA RAYA – Angka masyarakat miskin di Kalimantan Tengah (Kalteng) menyentuh angka sekitar 140 ribu lebih. Hal itu disampaikan Gubernur Kalteng, H. Sugianto Sabran.

Gubernur mengatakan, permasalahan kemiskinan ini dapat diselesaikan. Asalkan kata dia, para pengusaha membuka diri untuk memerangi kemiskinan, bahkan disebutnya hanya 28 persen sumber daya manusia (SDM) lulusan SMA yang mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

“Di Kalteng ada 2.500 hektare untuk padi nutrisi yang menghasilkan 8 ton per hektar, kalau dibantu oleh perusahaan perkebunan saya senang sekali. Namun jangan lupa kita juga harus memperkuat dari sisi lain seperti daging. Saya yakin kalau dari perkebunan dikelola dengan plasma, saya yakin Indonesia bisa menjadi swasembada daging. Tapi karena keuntungannya sedikit, tentu pengusaha tidak mau,” ujar Sugianto pada pembukaan pembukaan Borneo forum 7.

Ditekankannya, untuk memperkuat ketahanan pangan Kalteng, masyarakat telah melakukan penanaman di sekitar kebun seperti cabai, tomat, bawang merah, dan pare. Hal ini mestinya dilakukan pembinaan.

Di sisi lain, gubernur menyampaikan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono, bahwa dari seluruh angkatan lulusan SMA sederajat, kemungkinan 40 persennya tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Artinya, kurang lebih 96 ribu siswa yang dapat melanjutkan pendidikan hanya 28 persen.

“Saya bertanya mana orang kaya selain pemerintah, untuk itu pentingnya kehadiran para pengusaha agar membantu pemerintah bagaimana memerangi kebodohan bersama pemerintah daerah. Agar kedepan 20 tahun Kalteng paling tidak S1 semua, jika semua pengusaha mau turut membantu,” imbuhnya.

Bahkan untuk meningkatkan sektor pendidikan, dirinya tidak main-main. Diungkapkan Sugianto, Pemprov untuk S1, telah menggelontorkan dana sebesar Rp 166 miliar. Dimana satu mahasiswa miskin mendapatkan bantuan sebesar Rp 7,5 juta.

“Saya tidak mau minta pemerintah pusat, saya tau diri, tapi maksud saya ini ada pengusaha mestinya mereka membantu,” terangnya.

“Coba bayangkan saja founder mereka hidup di luar negeri tapi mengeluh, mengeluhnya pengusaha masih bisa makan minum yang nyaman. Tapi kalau bapak melihat masyarakat saya di pinggir hutan, di tengah kebun, mereka menjerit. Mereka belum tentu mendapat penghasilan Rp 10 ribu-Rp 20 ribu per hari, mendulang atau mencari emas juga belum tentu dapat, ini realita. Saya sampaikan ke pengusaha perkebunan supaya kedepan tidak ada kecemburuan sosial, tidak ada konflik lagi harus menyelesaikan secara menyeluruh. Tidak satu-satu, nanti bergantung seolah-olah semua permasalahan selesai, tidak,” tandasnya. (ifa/cen)