SAMPIT – Penggarapan lahan makam keluarga yang dilakukan oleh PT Hutanindo Agro Lestari (HAL) dianggap kurang beradat dan harus di sanksi dengan hukum adat yang berlaku.
Makam keluarga yang digarap tersebut diketahui milik Yanto Saputra yang merupakan warga di Desa Luwuk Sampun, Kecamatan Tualan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
“Sejak adanya laporan dari yang bersangkutan kasus ini sudah bergulir selama 8 bulan, dan pada tanggal 2 Mei kami sebagai lembaga Kedamangan telah memutuskan sidang adat terkait penggarapan lahan makam keluarga yang dilakukan oleh PT. HAL tersebut,” kata Damang Kecamatan Tualan Hulu, Leger T Kunum, Rabu (23/5/2024).
Dalam sidang itu, PT HAL sudah melanggar banyak pasal diantaranya Pasal 49 denda kerusakan/kebakan kubur, sandung, pantat dengan denda 35 Kati Ramu atau Rp. 8.750.000.
Pasal 87 denda adat kerusakan Pahewan, Keramat, Rutas dan Tahejan dengan denda 20 Kati Ramu atau Rp 5.000.000. Pasal 95 adat berladang dan berusaha dengan denda 175 Kati Ramu atau 36.250.000
Dan Pasal 96 Kelengkapan denda adat hidup kesopanan, beretika dan bermoral tinggi dengan denda 586 Kati Ramu atau Rp. 146.500.000. Selain itu juga PT HAL di bebankan biaya perkara sebesar Rp.15 juta dan biaya sidang sebesar Rp. 3.750.000.
“Ada beberapa unsur yang menjadi tanggung jawab yaitu flora-fauna, manusia, dan roh-roh. Jadi pasal-pasal yang kami gunakan dalam sanksi itu sudah tepat, yang mana dalam pasal tumbang anoi itu telah mengatur tata kehidupan bersosial masyarakat dayak yang masih relevan dengan kehidupan sekarang,” jelasnya.
Leger hanya berharap kepada pihak yang berperkara (PT. HAL) agar bisa menghargai hukum adat yang ada di wilayah ini. Menurutnya, apabila yang berperkara tidak mematuhi keputusan yang telah diberikan, itu sama saja tidak menghargai adat istiadat dayak dan mencederai perasaan masyarakat dayak pada umumnya.
“Untuk itu saya minta tolong agar bisa dipatuhi, karena saat ini kamu telah mengantar somasi kedua dan itu berikan batas selama 7 hari sejak terbit kepada PT. HAL untuk bisa dipenuhi sanksi tersebut. Selanjutnya, apabila tidak ada respon kami akan ikut tahapan-tahapan berikutnya yaitu somasi ketiga dan itu akan diberikan batas waktu yang lebih pendek lagi,” ungkapnya.
Dalam hal ini, dirinya juga menjelaskan bahwa dalam hukum adat dayak tidak ada yang namanya banding. Apabila hukum adat dayak sudah diputuskan itu akan menjadi final dan mengikat.
“Putusan itu sudah ada dalam peraturan Gubernur Kalteng Dan peraturan Bupati Kotim yang mengatur tentang kelembagaan adat yang mana hukum adat sifat final Dan mengikat dan tidak ada banding-bandingan,” tegasnya.
Agar hukum adat ini tidak salah digunakan, sebelum melakukan putusan terhadap berperkara pihaknya telah melakukan koordinasi dengan semua pihak termasuk ketua forum damang se-Kotim dan ketua forum damang se-Kalteng.
“Jadi artinya tidak ada kita itu membuat suatu keputusan yang bersifat dendam, ada marah, benci, maupun tidak suka. Semata-mata yang kami tegakkan adalah hukum adat yang berlaku, hal ini dilakukan agar tatanan kehidupan di Kotim maupun di Kalteng tetap harmonis,” tandasnya. (pri)