PALANGKA RAYA – Masalah status kawasan hutan di Kalteng seakan menjadi “jebakan” bagi masyarakat lokal yang melakukan aktivitas pertanian dan perkebunan. Hal ini lantaran tidak adanya kepastian dari pemerintah pusat dan penyampaian terkait penetapan kawasan hutan di Kalteng.
BACA JUGA: Monumen Knalpot Brong di Pospol Bundaran Besar
Wendi S.Loentan selaku Tokoh Pemuda Kalteng, menyebutkan kondisi tidak jelasnya kawasan hutan di Kalteng, ditambah dengan diterbitkannya Izin Pemanfaatan Hutan bagi Perusahaan Hutan Tanam Industri (HTI), justru menjadi pemicu konflik di masyarakat.
BACA JUGA: Pastikan Keamanan, Kapolda Cek KPU Barsel
Dimana, masyarakat yang tidak mengetahui jika melakukan penggarapan lahan yang masuk kawasan hutan justru dapat dijerat dengan sanksi pidana. Meskipun lahan tersebut telah dikelola menjadi ladang dan perkebunan sejak turun temurun, serta masyarakat Kalteng yang diketahui melakukan aktivitas ladang berpindah yang juga diakui sebagai salah satu kearifan lokal di masyarakat.
Salah satu contoh jika status kawasan hutan yang tidak disampaikan secara jelas kepada masyarakat, ialah tiga petani perkebunan kelapa sawit mandiri di Kabupaten Lamandau. Ketiganya seolah “terjebak” dengan status kawasan hutan di area yang mereka garap sebagai kawasan perkebunan.
Padahal, sebelumnya area tersebut merupakan ladang atau perkebunan masyarakat yang dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit mandiri untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Akibat dari ketidakjelasan area kawasan hutan yang ditentukan pemerintah, ketiganya kini terpaksa menjalani proses hukum dengan ancaman jeratan pidana. Hal ini juga menjadi perhatian banyak pihak, karena menyangkut nasib masyarakat Kalteng yang kebanyakan melakukan aktivitas di kawasan hutan. Mulai dari DAD Kalteng, aktivis lingkungan, praktisi hukum, hingga ormas yang ada di Kalteng menyoroti proses hukum pada ketiganya.
Pasalnya, jeratan hukum terhadap ketiga petani tersebut, dianggap telah menciderai kearifan lokal masyarakat Kalteng. Termasuk bentuk ketimpangan dalam penerapan hukum, dimana di Kalteng banyak ditemukan perusahaan besar swasta (PBS) yang melakukan aktivitas di kawasan hutan namun tidak menjalani proses hukum yang sama.
Terkait masalah penetapan kawasan hutan yang justru berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat Kalteng, Wendi menilai sudah semestinya ada reforma agraria dalam penyelesaian masalah tersebut. Pemerintah dapat melakukan pemisahan atau mengeluarkan kawasan perkebunan yang dikelola masyarakat dari area yang masuk kawasan hutan.
“Dengan demikian, masyarakat juga tidak akan kehilangan hak-hak atas lahan yang sudah dikelolanya. Terlebih jika melihat unsur manfaat dari pengelolaan tersebut yang dapat menunjang perekonomian rakyat,” ungkapnya.
Pada sisi lain, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) telah menciptakan angin segar bagi pelaku usaha tanpa izin dalam kawasan hutan, Pasal 110 A dan Pasal 110B memberikan kemudahan bagi pelaku usaha perkebunan, yaitu pembebasan pelaku usaha dari jerat sanksi pidana kehutanan nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, dengan diterapkannya sanksi denda administrasi berupa pembayaran PSDH-DR (Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi) untuk kategori Pasal 110 A UUCK serta denda Administrasi Pembayaran PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) Kehutanan yang dihitung dengan formula tersendiri untuk kategori Pasal 110B UUCK.
Sementara itu, Wendy pun menyambut baik langkah Pemprov Kalteng untuk menyelesaikan konflik perkebunan sawit di kawasan hutan, seperti yang diungkapkan Kepala Bidang Perlindungan Perkebunan, Dinas Perkebunan Kalteng, Adi Soeseno, bahwa pemerintah daerah masih menunggu hasil audit dan identifikasi dari satuan tugas (Satgas) sawit terkait perkebunan sawit yang masuk ke dalam kawasan hutan.
Satgas sawit, yang berada dibawah komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bersama kementerian dan lembaga lainya mengungkapkan, data hasil identifikasi satgas sawit sebagai landasan untuk melaksanakan Rencana Aksi Daerah Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAD PSKB) dan program di bidang perkebunan lainya berdasarkan peraturan perundang-undangan, bahwa penyelesaian terhadap perkebunan kelapa sawit yang sudah berdiri di kawasan hutan mengikuti mekanisme yang berlaku di tingkat pusat, mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja. (cen)