NANGA BULIK – Upaya pendudukan, penguasaan, dan pemanenan terhadap lokasi sengketa PT. Gemareksa Mekarsari dan PT. Satria Hupasarana dan Masrumsyah Cs oleh sejumlah massa organisasi masyarakat (Ormas) dan masyarakat yang terdiri dari ibu-ibu serta anak-anak terus terjadi. Perwakilan masyarakat dan perwakilan ormas ini pun memasang spanduk besar yang digantung, Rabu (23/11/2022).
Spanduk itu bertuliskan “Pemberitahuan. Stop..! Aktivitas Perusahaan PT. Gemareksa Mekarsari. Sesuai SK.01/MENLHK/SETJENKUM.1/01/2022, tentang Pencabutan Izin Konsensi Kawasan Hutan. Perusahaan Bisa Melakukan Aktivitas Kembali Apabila Perusahaan Bisa Menunjukan SK Evaluasi Beserta Bukti Pembayaran PNBP”.
Menyikapi hal tersebut, perwakilan perusahaan pun telah bertemu langsung dengan perwakilan masyarakat dan perwakilan ormas di lokasi kebun milik PT. Gemareksa Mekarsari tersebut.
Setelah perwakilan perusahaan membacakan jawaban atas tuntutan tersebut, tidak lama berselang dilakukan pelepasan spanduk yang disaksikan jajaran Polri, TNI, dan tokoh masyarakat setempat.
Secara terpisah, Manager Humas, PT. Gemaraksa Mekarsari dan PT. Hupasarana, Yunebet saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (23/11/2002),membenarkan perihal pelepasan spanduk dan pendudukan serta penguasaan yang dilakukan perwakilan masyarakat dan massa ormas tersebut.
Dijelaskan Yunebet, isu pencabutan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) PT. Gemareksa Mekarsari sebagaimana SK.01/MENLHK/SETJENKUM.1/01/2022 sudah dilakukan klarifikasi secara langsung. Bahwa berdasarkan klarfisikasi dari Kementria LHK pada tanggal 2 Februai 2022 telah dilakukan klarifikasi langsung. Pihak Kementrian LKH telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 687/MENLHK/SETJEN/PLA.2/7/2022, tertanggal 5 Juli 2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT. Gemareksa Mekarsari, sehingga pencabutan IPKH telah dibatalkan dengan pertimbangan hasil klarifikasi langsung.
Yunebet menjelaskan, bahwa kewajiban perusahaan atas HGU adalah membayar Pajak bukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana tertulis dalam spanduk tersebut.
“Kami berharap aparat penegak hukum bersikap tegas dan dapat menertibkan aksi massa ini. Mereka terus melakukan kegiatan pemanenen dan penguasaan atas kebun PT. Gemaraksa Mekarsari dan PT. Satria Hupasarana. Aksi massa ini sudah mengarah kepada tindak pidana karena. Tenda-tenda yang mereka dirikan di area kebun dan melibatkan anak-anak serta ibu-ibu ini kami sesalkan,” kata Yunebet.
Menurut Yunabet, selain menduduki, menguasai, memanen, dan mendirikan tenda-tendai di areal kebun sengketa Perdata PT. Satria Hupasarana dan Masrumsyah Cs, seluas 486,76 hektare, aksi massa ini juga melakukan pemanenan dan penguasaan terhadap areal kebun seluas kurang lebih 1.700 hektare.
Padahal sudah sangat jelas berdasarkan penjelasan ahli hukum pidana dan perdata berdasarkan hasil pertemuan dengan Polres Lamandau serta pihak terkait, sengketa sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI terhadap dengan hasil NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) yang mana para pihak dapat mengajukan gugatan kembali terhadap hak atas tanah yang disengketakan.
Ditambahkan Yunabet, dalam penguasaan dan pendudukan pada kawasan kebun tersebut, massa Yayasan Borneo Sarang Peruya dan sejumlah Ormas dari luar Kabupaten Lamandau, telah melibatkan anak-anak dan ibu-ibu.
Massa yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu serta sejumlah massa tersebut berasal dari luar daerah seperti Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, dan Kota Palangka Raya. Mereka tinggal di dalam tenda-tenda yang didirikan dalam kebun milik perusahaan.
Gemareksa Mekarsari dan PT. Satria Hupasarana kata Yunabet, saat ini telah memenuhi semua aturan sehubungan dengan dikeluarkannya Hak Guna Usaha (HGU), baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat berupa plasma dan kemitraan sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).
“Kelengkapan legalitas kedua perusahaan kami sudah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Lahan sudah diukur ulang oleh ATR/BPN Lamandau an semuanya sesuai dengan Sertifikat HGU yg dikeluarkan oleh pihak ATR/BPN,” kata Yunabet.
Lebih lanjut disampaikannya, belum lama ini Polres Lamandau, Pemkab Lamandau, Yayasan Borneo Sarang Paruya (BSP) dan semua pihak terkait telah menyatakan kesepakatan pada tanggal 21 November 2022 yang melibatkan ahli hukum Pidana serta Perdata. Bahkan setelah pertemuan yang menyatakan hasil bahwa kedua belah pihak diberi waktu 1 minggu atau paling lambat 28 November 2022 untuk memberikan tanggapan terkait gugatan Perdata baru terhadap hak atas tanah yang disengketakan kepada Pemkab dan Polres Lamandau.
“Masyarakat dan kita selaku perusahaan tidak boleh melakukan pemanenan dan penguasaan atas lahan sengketa Perdata PT. Satria Hupasarana dan Masrumsyah Cs, seluas 486,76 hektare. Bila ada yang melakukannya maka hal itu sudah menjadi kasus tindak pidana dan melanggar hukum. Dalam hal ini maka Polres Lamandau dan instansi terkait tentu dapat bertindak tegas,” katanya.
Sementara itu, berdasarkan video yang beredar luas terkait penjelasan Ketua DPP Borneo Sarang Paruya (BSP), Wili Tawung Uju, secara tegas menyebutkan, dirinya selaku pimpinan besar BSP membantah kalau massa dari ormasnya yang melakukan pemanenan di PT. Gemareksa Mekarsari di Desa Perigi. Dirinya sudah melakukan penarikan pasukannya terhitung sejak 10 hari yang lalu. Dirinya mempersilahkan kepada pihak terkait untuk melakukan pengecekan dan meminta pihak terkait untuk tidak menyebarkan fitnah terhadap BSP.
“Selamat siang, salam sehat. Saya selaku pimpinan besar Borneo Sarang Paruya, Wili Tawung Uju. Bahwa isu kalau BSP itu memanen di PT. Gemareksa di areal Desa Perigi, saya sudah menarik pasukan 10 hari lalu. Tidak ada pasukan BSP di kawasan itu.
Disitu, kata dia, hanya masyarakat dengan koalisi ormas. Tolong cek! Jadi jangan di fitnah-fitnah itu BSP.
“Kami menghormati kesepakatan yang ada. Saya menyatakan sikap, disitu tidak ada tindakan BSP. Apalagi memanen milik Koperasi Perjuangan, boleh dicek dan jangan sebar fitnah. Kami taat hukum dan taat NKRI harga mati,” katanya dalam video berdurasi 01.25 menit itu.(*/cen)