PALANGKA RAYA–Dugaan malpraktek dilayangkan kepada RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya oleh orang tua pasien seorang bayi yang meninggal dunia pasca dilakukan operasi. Tudingan tersebut dilaporkan ke Polda Kalteng.
BACA JUGA: Rocky Gerung: Ketidakpercayaan Publik Potensi Terjadinya Kerusuhan
Orang tua pasien mensinyalir adanya dugaan malpraktek yang mengakibatkan bayi mereka meninggal dunia. Selain itu, pihak keluarga juga mengaku mendapatkan pelayanan yang relatif buruk.
Selain itu, orang tua bayi juga bertemu dengan anggota DPRD Kalteng untuk menyampaikan permasalahannya. Ketua Komisi I DPRD Kalteng, Freddy Ering, menuturkan pihaknya menyoroti peristiwa ini terlebih mengenai pelayanan dan penanganan kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat.
“Indikasi malpraktek sangat kuat mendukung pihak kepolisian menyelidiki dan menyidik adanya peristiwa ini,” katanya, Jumat (2/2/2024).
Dari pengakuan pihak keluarga, bayi tersebut sebelumnya dilahirkan di Rumah Sakit Muhammadiyah pada 9 Januari 2024 lalu. Namun harus dirujuk ke RS Doris Sylvanus pada 12 Januari karena kondisi tak stabil lantaran sulit BAB.
Setelah tiga hari di Doris Sylvanus, pihak rumah sakit menyarankan untuk operasi. Afner selaku ayah bayi menyetujui langkah itu dan bersedia menandatangani persetujuan. Tindakan operasi dilakukan dengan membedah perut bayi untuk menyambung usus dengan penggunaan ring, karena diagnosanya bermasalah di situ.
“Pemasangan ring itu yang paling sering memakan korban, karena Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tidak dijalankan oleh pihak rumah sakit,” ujar Freddy Ering.
Kejanggalan muncul lantaran diagnosa awal dan pascaoperasi berbeda. Sebelum operasi didiagnosis Megacolon Congenital (kondisi usus besar menyebabkan kesulitan mengeluarkan tinja), namun setelah operasi berubah menjadi Atresia Ani atau cacat bawaan bagian usus besar hingga anus tidak terbentuk sempurna ketika dalam kandungan.
Terlebih, setelah operasi anak Afner tak dimasukkan ICU, namun ke ruang biasa. Afner mengaku sering melihat selang oksigen anaknya lepas, perban bekas operasi lepas, dan beberapa kali kondisinya anaknya lemah dan kian memburuk hingga akhirnya meninggal dunia sepekan setelah operasi.
“Dari keterangan pihak keluarga, memang indikasinya ke situ (Malpraktek). Ada beberapa juga kejadian penanganan RSDS yang sangat kuat indikasi malpraktek,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Kalteng, Hj Siti Nafsiah, pun menerima kedatangan pasangan suami istri di ruang kerjanya. Mereka yang datang mengaku sebagai korban malpraktek salah satu rumah sakit.
Siti Nafsiah mengaku terkejut atas cerita masyarakat tersebut. Dirinya menceritakan aduan masyarakat yang diterimanya mengenai meninggalnya seorang bayi pasca operasi yang dilakukan salah satu rumah sakit daerah di Kalteng.
“Pada intinya, saya menerima semua keluhan mereka. Dari kronologisnya seperti apa dari pihak keluarga,” ujarnya.
Lanjutnya, dirinya nanti akan berdiskusi dengan ketua DPRD Kalteng dan anggota komisi. Pihaknya berencana akan memanggil atau mengundang pihak rumah sakit dimaksud untuk mengetahui benang merah terkait aduan dari masyarakat tersebut.
Dia menegaskan, laporan masyarakat tersebut tentu menjadi perhatian serius, pasalnya hal tersebut menyangkut nyawa manusia dan prosedur pelayanan kesehatan yang juga adalah hak masyarakat.
“Saya belum melaporkan hal ini. Dari hasil ini, kami mungkin berencana mengundang pihak rumah sakit,” tegasnya.
Ia menambahkan, selain memanggil rumah sakit yang terkait, pihaknya akan memanggil jajaran dari rumah sakit lainnya yang bermitra di komisi III dengan tujuan turut membantu mengenai adanya aduan tersebut.
“lya, kami minta direkturnya langsung nanti serta jajaran rumah sakit tersebut. Jadi tunggu saja untuk kelanjutannya,” pungkasnya.
Sementara itu, media sempat berbincang dengan pasangan suami istri yang melapor dugaan malpraktek tersebut. Yakni Afner dan istrinya, mereka menceritakan bahwa awalnya persalinan dilakukan di rumah sakit di Jalan RTA Milono pada tanggal 09 Januari 2024.
Akan tetapi bayi mereka lahir dengan keadaan tidak normal, yakni diduga mengalami gangguan pencernaan. Pihak rumah sakit pun merujuk ke rumah sakit Doris Sylvanus.
“Setelah tiga hari dirawat, pihak rumah sakit menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi,” cerita Afner ayah si bayi.
Lanjutnya, karena jalan satu-satunya adalah operasi menurut rumah sakit, maka orang tua bayi menyetujui. Namun, setelah tindakan operasi dilakukan, bayi tersebut meninggal dunia. Pihak orang tua pun menduga ada tindakan malpraktek yang terjadi.
Sementara Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD dr Doris Sylvanus, dr. Devi Novianti Santoso, SH.,MH.,Sp.KF, membantah dugaan malpraktek terhadap bayi baru lahir (berusia 14 hari) yang meninggal pasca operasi.
Dia mengatakan, pihaknya selalu mengedepankan SOP yang berlaku dan juga dilakukan secara semaksimal.
“Benar sekitar satu minggu yang lalu kita mendapati adanya seorang bayi yang meninggal dunia pasca operasi di RSUD dr Doris Sylvanus. Untuk diketahui pasien tersebut merupakan pasien rujukan dari salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kota Palangka Raya, dikarenakan mereka tidak mampu untuk melakukan observasi serta tindakan lebih lanjut bagaimana, maka dari itu dirujuk lah ke rumah sakit kita,” terang dr Devi.
Setibanya pasien di Doris Sylvanus ini, pasien langsung mendapatkan penanganan dan pemeriksaan lengkap untuk diagnosa tahap awal terhadap penyakit yang diidap oleh pasien tersebut. Pasien ini masuk pada tanggal 12 Januari 2024 pukul 14.40 melalui IGD RS Doris Sylvanus dengan kondisi lemah.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan penunjang secara lengkap terkait dengan penyakit bayi tersebut, sampai ditemukan kondisi pasien yang memerlukan penanganan segera sambil menunggu keputusan keluarga yang saat itu masih meminta waktu untuk berunding.
Tentunya kata dia, pihak rumah sudah memberikan pelayanan yang terbaik termasuk dilakukannya operasi terhadap pasien tersebut atas persetujuan orang tua dengan menyertakan surat persetujuan operasi yang ditandatangani oleh orang tua sebelum dilakukannya operasi.
Orang tua pasien sudah diberikan informasi dan sudah menandatangani surat pernyataan serta surat persetujuan untuk dilakukan tindakan operasi. Pun informasi apa saja penyakit pasien ini serta tindakan apa saja yang akan dilakukan dan risiko yang mungkin terjadi sampai dengan kemungkinan terburuknya risiko meninggal.
dr Devi juga menjawab tudingan yang diberikan oleh orang tua korban terkait kenapa diagnosa sebelum operasi dan sesudah operasi malah berbeda.
“Hal ini bisa berbeda tentunya dalam dunia medis. Dikarenakan sudah ada dilakukan tindakan lebih lanjut dan lebih dalam setelah dilakukannya tindakan operasi, dan inipun dalam diagnosa awal pastinya setelah operasi adanya muncul diagnosa lanjut pembanding terhadap penyakit apa yang sebenarnya diidap oleh seorang pasien. Tentunya ini merupakan hal wajar dikarenakan dinamisnya setiap tubuh manusia itu berbeda-beda setiap jam, menit bahkan detik pun, karena apa, didalam tubuh kita itu bergerak terus aliran darah kita,” terangnya.
Diagnosis yang berbeda itu terjadi, dikarenakan penyebab utamanya ditemukan pada saat operasi, kelainan yang terjadi itu sebagai diagnosis post operasinya. Dan perlu diketahui untuk masyarakat, bahwa pada kasus-kasus yang terbilang gawat memerlukan operasi segera. Diagnosis operasi itu baru bisa ditentukan secara pasti setelah tindakan operasi berdasarkan temuan hasil operasinya. Pada bayi ini juga ditemukan kelainan jantung bawaan yang cukup berat.
dr Devi menyayangkan orang tua korban menuding rumah sakit. Padahal disini pihaknya sangat terbuka.
“Apabila adanya keluhan yang dirasakan oleh pihak keluarga yang kurang puas akan pelayanan yang diberikan, kita dari pihak rumah sakit selalu terbuka,” tutupnya. (rdo/rul/ihz/nab*/cen)