Kota Palangka Raya Masuk Kawasan Hutan, Masyarakat Kalteng Menjadi “Terpasung”

kawasan hutan
Kota Palangka Raya

PALANGKA RAYA – Kota Palangka Raya Ibu Kota Provinsi Kalteng ternyata masih termasuk dalam kawasan hutan. Ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor : SK.529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Keputuhan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982 tentang Penunjukan Area Hutan di Wilayah Kalteng seluas  15,30 juta hektare.

Setelah terbit SK.529/Menhut-II/2012, maka luas wilayah hutan di Kalteng menjadi 12.719.707 ha. Luas wilayah hutan di Kalteng ini diantaranya meliputi Kota Palangka Raya.

Di Kota Palangka Raya, wilayah  yang tidak termasuk dalam kawasan hutan hanya Kelurahan Kalampangan. Karena di Kalampangan sejak Tahun 1980-an sudah lebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi.

“Batasnya kalau tidak salah lampu merah simpang empat arah Banjarmasin,” kata Drs Akhmad Taufik, SH.MH, MPd kepada Palangka Ekspres di kediamanya, Sabtu (11/2).

Pria yang mantan dosen dan beralih sebagai profesi pengacara ini mengaku heran sebuah kota yang di dalamnya berdiri bangunan pemerintah, seperti Kantor Gubernur Kalteng, Markas Polda Kalteng, lembaga pendidikan termasuk Kompleks Masjid Raya Darussalam dan rumah sakit masih dalam kawasan hutan.

“Jalan negara Palangka Raya ke Sampit, ke Pangkalan Bun, ke Kuala Kurun dan Murung Raya itu juga termasuk kawasan hutan. Mungkin panjangnya mencapai 800 km lebih. Inilah yang mengganggu tata ruang di Kalteng,” katanya.

Menurutnya, pembangunan atau pemanfaatan tata Ruang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palangka Raya dan kepolisian Kota Palangka Raya, yakni pembangunan kantor camat dan Polsek Sabangau yang berada di wilayah hutan produksi yang dapat di Konversi (HPK).

Sebenarnya Taufik bersama rekan-rekanya pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinyatakan menang. Berdasarkan keputusan MK No: 45/PUU-IX/2011 frase penunjukan kawasan hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hanya saja Menteri Kehutanan tidak memakai keputusan MK dan tetap memakai SK.529/Menhut-II/2012 sebagai rujukan hukumnya.

Akibatnya, kata Taufik, banyak aset dan keinginan masyarakat Kalteng yang “terpasung” dengan SK Menhut itu. Masyarakat memiliki tanah di atasnya berdiri sebuah bangunan, tetapi tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Begitu juga masyarakat tidak bisa balik nama kepemilikan atau menjaminkan sertifikat di bank.

“Mau bikin sertifikat saja susah. Karena masuk zona merah. Padahal masyarakat memiliki tanah itu sudah puluhan tahun. Yang sudah memiliki sertifikat pun tidak bisa balik nama atau sebagai jaminan di bank,”ucapnya.

Apabila uji materi di MK itu kalah, lanjut Taufik, banyak para pejabat di Kalteng termasuk gubernur dan bupati yang masuk penjara. Karena mereka dianggap membangun dan memberikan perizinan perkebunan kelapa sawit di atas kawasan hutan.

Karena itu, ia mendesak Kementerian Lingkungan dan Kehutanan untuk segera mencabut dan tidak memberlakukan lagi SK.529/Menhut-II/2012. Alasanya pada sidang uji materi di MK beberapa tahun lalu, dinyatakan kalah.

Cara lain, kata Taufik, yang sering menjadi penasehat hukum terkait sengketa tanah, masyarakat Kalteng mendesak Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk mencabut SK. 529/Menhut-II/2012.

Ia sendiri berencana akan menyurati Menkopolhukam untuk mencabut atau membatalkan SK.529/Menhut-II/2012 dan mengganti Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang baru sebagai payung hukumnya.

Sebetulnya dalam Undang-Undang Cipta Kerja bisa sebagai payung hukum untuk mencabut SK.529/Menhut-II/2012. Hanya saja Undang-Undang Cipta Kerja kalah diuji materi di MK.

“Tapi pemerintah segera menerbitkan Perpu sebagai landasan hukumnya. Kami berharap Menkopolhukam memerintahkan Menhut untuk meencabut SK.529/Menhut-II/2012 dan mengganti dengan Perpu yang baru,”ujarnya.(to/cen)

BACA JUGA : Kerusakan Hutan, Perkebunan Kelapa Sawit, Illegal longing, Picu Bencana Banjir

BACA JUGA : Dampak SK Menteri KLHK Mengancam Nasib Pekerja Lokal di Kalteng