PALANGKA RAYA-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya mengadakan bincang awal tahun dan peluncuran catatan akhir tahun (Catahu) 2022 dengan mengangkat tema “Negara melanggengkan kiriminalisasi, rakyat harus bersatu percaya pada kekuatan kolektif sendiri”.
Kegiatan catatan akhir tahun itu dilaksanakan di kantor LBH Palangka Raya, Jalan Parawei, Perum Casadova Blok B, No.10, Kota Palangka Raya. Kegiatan ini dihadiri oleh lembaga jaringan LBH Palangka Raya dan sejumlah awak media.
Direktur LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho W, SH, mengatakan tema kegiatan yang diangkat dalam catatan akhir tahun ini berdasarkan dengan adanya kondisi objektif ditingkat nasional maupun di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Pada tingkatan nasional, kata Aryo, sejak disahkannya RKUHP menjadi undang-undang (UU), dimana yang disahkan memuat pasal-pasal berpotensi tinggi terjadinya kriminalisasi, menambah mimpi buruk bagi masyarakat dimasa depan.
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Perkebunan, UU Pertambangan dan lainnya, telah banyak memakan korban kriminalisasi. Apa lagi ditambah dengan KUHP yang baru.
“Di Provinsi Kalteng sendiri, apabila belajar dari kasus Willem Hengki yang merupakan Kepala Desa Kinipan, yang dikriminalisasi dengan tunduhan tindak pidana korupsi dan kasus-kasus lainnya menjadi satu alasan kuat, bahwa Negara yang diwakili pemerintah telah melanggengkan kriminalisasi sejak disahkanya UU KHUP yang baru,” jelas Aryo mencotohkan kasus.
LBH Palangka Raya juga menyoroti pemenuhan hak asasi manusia (HAM) selama tahun 2022 di Kalteng. Dengan ruang lingkup perlindungan terhadap masyarakat adat, plasma kebun sawit, kriminalisasi di area perkebun sawit dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Secara keseluruhan dalam penilaian LBH Palangka Raya Pemerintah Daerah Kalteng dan aktor lainnya telah gagal, bahkan melanggar ketentuan perundang-perundangan dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Terkait kriminalisasi disekitar perkebunan sawit, terdapat data yang dikumpulkan dari system informasi penulusuran perkara (SIPP). Dimana dari data tersebur menunjukan ada 57 kasus pencurian buah sawit di empat kabupaten yaitu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Sukamara, Kotawaringin Tmur dan Seruyan, dengan total jumlah terdakwa 137 orang.
“Mengapa ada pencurian buah sawit di perusahaan ini menjadi suatu pertanyaan penting? Bukankah UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 3 huruf a, menyebutkan tujuan perkebunan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” tanya Aryo.
Ia menyebutkan, bahwa dengan adanya pencurian buah sawit perusahaan merupakan satu fakta investasi kebun sawit tidaklah seindah bunyi undang-undang. Pencurian terjadi karena gagalnya pemerintah dalam menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
“Kami menilai fakta ini pemerintah telah mengkriminalisasi rakyatnya sendiri, karena membiarkan rakyatnya menjadi pencuri. Pemerintah telah gagal memberikan pemenuhan hak asasi manusia dan melanggar ketentuan yang diatur UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) dan Pasal 28 I Ayat (4), UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Ekosob, Pasal 11 angka 1,” jelas Aryo yang pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya.
LBH Palangka Raya, kata Aryo, menegaskan bahwa rakyat harus bersatu dan mengorganisasikan dirinya untuk menuntut kepada pemerintah agar memenuhi kewajibanya memberikan pemenuhan hak asasi.
“Tahun politik harus menjadi pelajaran bahwa rakyat juga bagian dari Negara ini dan sejatinya pemerintah itu pelayanan rakyat,” tutupnya.(cen)