Kumham Goes To Campus, Wamenkumham: RUU KUHP Harus Segera Disahkan

Kumham Goes To Campus
Dialog di Universitas Palangkaraya (UPR), Rabu (26/10/2022), dihadiri oleh Wamenkumham Edward Omar Syarif Hiariej, Anggota DPR RI Ary Eghani, Staf Ahli Menkumham dan jajaran Kemenkumham Kalteng. Foto:Ist

PALANGKARAYA – Proses yang begitu panjang telah dilalui pemangku kepentingan dalam mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM RI menindaklanjuti instruksi Presiden RI Ir. Joko Widodo, telah berkomitmen untuk mensosialisasikan draft RUKUHP tersebut ke ruang publik.

Bentuk komitmen tersebut terselenggara dalam kegiatan “Kumham Goes To Campus” yang bertujuan sebagai ruang diskusi publik yang menyerap aspirasi dari seluruh elemen public, khususnya mahasiwa untuk mewujudkan disahkannya RUU KUHP Nasional.

“Kumham Goes To Campus” sendiri telah berlangsung di dua kota besar diantaranya di Medan dan Makasar. Menyusul jadwal berikutnya di Kupang dan Denpasar.

Dialog di Universitas Palangkaraya (UPR), Rabu (26/10/2022), dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) RI Edward Omar Syarif Hiariej, Anggota DPR RI Ary Eghani, Staf Ahli Menkumham dan jajaran Kemenkumham Kalteng.

Draf RUU KUHP sendiri telah melalui proses yang cukup lama. Sempat mengendap di tujuh masa kepresidenan, namun rancangan ini kembali dibahas pada tahun 2015 dan mulai disempurnakan pada tahun 2019 lalu tepatnya pada masa kepresidenan Joko Widodo.

“Kita harus mengesahkan RKUHP yang baru, kita tahu persis ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Apalagi kita sudah memasuki era saat ini yang sudah tentu tidak bisa ditanggulangi oleh KUHP yang usianya lebih dari 200 tahun,” kata Edward dihadapan para mahasiswa.

Dikatakan Edward, KUHP yang saat ini aparat penegakan hukum dibuat pada era 1800-an. Dasar hukum pidana ini menurut Edwart bukan benda yang tiba-tiba turun dari langit melainkan telah melalui suatu proses panjang yang diinisiasi pada zaman dahulu.

“Ini proses panjang dan bukan suatu lorong gelap tanpa mendengar aspirasi publik. Pertimbangan ini juga soal kepastian hukum karena antara satu terjemahan dan terjemahan lain oleh para ahli itu berbeda-beda,” katanya.

Oleh karena itu, langkah mempercepat pengesahan RUU KUHP memiliki misi mewujudkan dekolonisasi, demokratisasi, harmonisasi dan adaptasi.

Dijelaskannya, Dekolonisasi ini tidak terlepas dari apa yang tertuang di RUU KUHP yang berorientasi terhadap kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

“Ini berbeda 180 derajat dengan KUHP yang berlaku saat ini,” katanya.

Kemudian, lanjutnya, Demokratisasi yang menjamin kebebasan berpendapat berekspresi, berkumpul tetapi dibatasi dan sebagainya sesuai putusan Mahkamah Kontitusi (MK).

Ketiga, ada Harmonisasi. Sedikitnya 200 UU sektoral yang memuat sanksi pidana diluar kitab KUHP. Dimana antara UU satu dengan UU yang lain terjadi ketidakcocokan.

Sementara pada RUU KUHP menjamin terjadinya keharmonisan dan dianggap belum mengatur secara detail. Langkah dekodifikasi dilakukan dalam mengeluarkan pasal tertentu didalam KUHP untuk dijadikan UU sektoral.

“Contohnya dekodifikasi pada pasal kejahatan jabatan di KUHP yang kita kenal UU tindak pidana Korupsi. Kemudian ada kejahatan terhadap pelayaran ditarik dari pasal KUHP dibuat UU tersendiri mengenai penerbangan,” urainya.

Keempat ada misi adaptasi yang didalam naskah akademik moderenisasi KUHP tidak lagi mengutamakan balas dendam. Namun berubah menjadi korektif, restoratif dan rehabilitatif.

“Korektif menjatuhi pidana kepada pelaku mencegah tidak mengulangi lagi dikemudian hari. Tidak hanya sanksi tapi diperbaiki (rehabilitatif) tidak hanya pelaku korban juga mendapat pemulihan dalam suatu kasus. Disamping itu sebelum naik ke hukum pidana harus disortir melalui keadilan restoratif yakni pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi diantara korban dan pelaku,” bebernya. (rdo/cen)

BACA JUGA : Wamenkumham Kunjungi UPT Pemasyarakatan