Kasus KDRT Oknum Kepala Dinas di Kotim, Korban Kecewa Vonis 4 Bulan Setelah 3 Tahun Menunggu Keadilan

kdrt
Kantor Pengadilan Negeri Sampit. Foto: Apri

SAMPIT – Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan seorang Kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) berinisial W, kembali menjadi perhatian publik.
Kasus ini pertama kali dilaporkan oleh istrinya, Y, pada 29 Oktober 2022, namun baru naik ke tahap persidangan pada Juni 2025. Kini, keduanya diketahui telah resmi bercerai.

Sidang lanjutan dengan agenda pembelaan dan putusan digelar oleh Pengadilan Negeri Sampit pada Senin (27/10/2025). Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Berdasarkan keterangan pelapor yang hadir langsung di pengadilan, majelis hakim menjatuhkan vonis empat bulan penjara terhadap terdakwa W.
Putusan tersebut sontak membuat korban kecewa karena merasa hukuman itu tidak sebanding dengan penderitaan yang ia alami dan perjuangan panjang selama hampir tiga tahun menanti keadilan.

“Saya tidak terima dengan putusan itu. Empat bulan terlalu ringan. Saya melapor sejak 2022, tapi keadilan terasa sangat lama datangnya. Saya sudah capek menunggu,”
ujar Y, korban, saat diwawancarai, Jumat (31/10/2025).

Y juga mengungkapkan bahwa selama proses persidangan berlangsung, dirinya beberapa kali tidak diperbolehkan menghadiri sidang, termasuk pada sidang tuntutan yang disebut tertutup.
Namun pada sidang pembelaan dan putusan, ia akhirnya diizinkan masuk dan mendengarkan langsung pembacaan vonis hakim.

“Saat sidang tuntutan saya dilarang masuk, tapi pada sidang putusan akhirnya saya diizinkan. Dari situ saya bisa dengar sendiri hakim hanya memvonis empat bulan. Rasanya tidak adil setelah saya menunggu hampir tiga tahun,” tambahnya.

Dalam salah satu sidang sebelumnya, Y juga meminta agar terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang ketika anak mereka memberikan kesaksian. Permintaan itu disampaikan karena ia khawatir kehadiran terdakwa dapat memengaruhi kondisi psikologis anak yang disebut sempat mengalami tekanan.

“Saya minta Pak W keluar saat anak saya bersaksi dalam kasus ini, karena anak saya takut. Untungnya hakim mengizinkan,” ucapnya.

Korban berharap agar aparat penegak hukum lebih berpihak pada korban KDRT, khususnya ketika pelaku merupakan pejabat publik yang seharusnya memberi teladan.
Menurutnya, hukuman ringan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga justru dapat mencederai semangat penegakan hukum yang berkeadilan.

“Saya hanya ingin keadilan ditegakkan tanpa pandang jabatan,” tegas Y.

Diketahui, putusan ini belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Selain korban yang merasa tidak puas dengan hasil putusan, pihak terdakwa juga dikabarkan mengajukan banding ke pengadilan tingkat lebih tinggi. (pri/cen)

BACA JUGA : Kepala Desa PAW Waringin Agung Didesak Mundur, DPMD Kotim: Selesaikan Secara Musyawarah