PENETAPAN Kepala Dinas ESDM Kalimantan Tengah (Kalteng) inisial VC sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi zirkon senilai Rp1,3 triliun bukan sekadar skandal besar. Ini adalah alarm keras yang menggema ke seluruh birokrasi. Kasus ini menunjukkan satu fakta pahit. Sektor yang seharusnya paling dijaga justru menjadi ladang empuk penyimpangan.
Ketika satu dinas tersandung, wajar jika publik bertanya. Benarkah sektor lain jauh lebih bersih?
Bumi Tambun Bungai-julukan Provinsi Kalteng adalah provinsi berhutan, tetapi kondisi di lapangan menunjukkan cerita berbeda. Ratusan ribu hektare hutan mengalami degradasi, sebagian berubah menjadi lahan sawit, HTI, atau tambang.
Lebih parah lagi, sejumlah laporan lembaga lingkungan menyingkap dugaan pelanggaran oleh perusahaan besar tanpa penindakan berarti.
Jika sektor ESDM punya kasus zirkon. Sektor kehutanan punya daftar panjang dugaan pembiaran, kelalaian pengawasan, dan potensi konflik kepentingan yang tak kalah serius.
Publik tak butuh kata-kata manis tentang komitmen menjaga lingkungan. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata menutup celah korupsi di sektor yang paling rentan permainan izin ini.
Sementara di sektor lain. Statistik pendidikan memang membaik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik, rapor pendidikan membaik.
Namun, apa arti angka itu di tengah kenyataan bahwa murid di pedalaman masih belajar di bangunan reyot. Fasilitas pendidikan yang tidak merata. Akses guru berkualitas masih timpang dan infrastruktur sekolah banyak yang tidak layak.
Pendidikan Kalteng belum gagal. Tetapi juga belum berhasil. Dan yang mengkhawatirkan, ketimpangan layanan pendidikan justru memperlebar jurang antarwilayah, menciptakan generasi yang tidak setara hanya karena mereka lahir di lokasi berbeda.
Jika tata kelola tidak diperbaiki dari hulu ke hilir, peningkatan angka hanya menjadi kosmetik, bukan solusi.
Di sektor kesehatan, yang seharusnya paling terlindungi, juga menunjukkan sisi rapuh di birokrasi. RSUD Doris Sylvanus, rumah sakit rujukan terbesar di Provinsi Kalteng, pernah memiliki utang hingga ratusan miliar. Utang sebesar itu tidak muncul tiba-tiba. Utang itu muncul dari kombinasi lemahnya manajemen, pengawasan anggaran, dan pembiaran bertahun-tahun.
Jika fasilitas kesehatan utama saja tercekik utang. Bagaimana dengan puskesmas atau rumah sakit daerah lainnya? Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini persoalan keamanan layanan kesehatan masyarakat.
Olehnya, kasus zirkon bukan anomali. Tetapi gejala dari sistem birokrasi yang terlalu bergantung pada integritas individu. Lemah dalam pengawasan internal. Minim transparansi. Terlalu memusatkan kekuasaan pada sedikit orang. Tidak punya mekanisme pengendalian yang kuat.
Ketika kekuasaan besar tidak diimbangi kontrol yang ketat, maka penyimpangan bukan sekadar kemungkinan, melainkan kepastian.
Jika pemerintah daerah ingin mengembalikan kepercayaan publik, maka langkahnya harus tegas. Tentunya, harus berani melakukan audit total seluruh sektor rawan korupsi. Sektor pertambangan, kehutanan, kesehatan, pendidikan, dan keuangan daerah.
Membuka data perizinan dan anggaran secara transparan kepada publik. Perkuat sistem pengawasan independen, termasuk kolaborasi dengan aparat penegak hukum. Memutus mata rantai konflik kepentingan di seluruh proses perizinan dan pengadaan. Membangun budaya birokrasi yang tidak hanya tunduk pada aturan, tetapi juga etika publik.
Tanpa itu semua, kasus zirkon hanya akan menjadi headline sementara. Kita akan menunggu kasus berikutnya. Kasus zirkon adalah cermin besar yang memaksa kita melihat wajah birokrasi apa adanya.
Berikut catatan redaksi Kaltengoke.com terkait desakan dan laporan dugaan tindak pidana korupsi di sejumlah sektor:
Dari catatan tersebut, redaksi berpandangan bahwa sesuatu yang baik, tetapi belum tentu bersih. Bekerja, tetapi belum sepenuhnya efisien. Hadir, tetapi belum sepenuhnya untuk rakyat. (*)
Penulis: Vinsensius
Disclaimer: Opini ini merupakan catatan Redaksi Kaltengoke.com tanpa mewakili kepentingan pihak mana pun.



