Asrama Jadi Abu, Harapan Tak Pernah Mati

asrama
Kebakaran Pondok Pesantren Mamba’u Darissalam, Senin (28/7/2025), hanya menyisakan puing-puing dan abu. Foto: Ifa

SABTU malam, 26 Juli 2025, waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB. Di sebuah kompleks kecil di kawasan Mendawai I Ujung, puluhan santri Pondok Pesantren Mamba’u Darissalam tengah tenggelam dalam kekhusyukan salat Isya. Tidak ada yang menyangka, dalam hitungan detik, suasana syahdu itu akan berubah menjadi kepanikan. Asrama mereka rata dengan tanah.

Asrama yang biasanya menjadi tempat istirahat mereka dan tempat berteduh, menulis hafalan, dan menumpuk mimpi telah dilalap api. Dari ujung bangunan, kobaran merah membubung ke langit malam, menyebar cepat, menelan tiga unit bangunan asrama hanya dalam waktu singkat.

“Masih rakaat terakhir… semua santri lari ke luar masjid. Banyak yang belum sempat menyelesaikan salat,” kata Ustadz Muhammad Amin Ridha, guru dan pengasuh pesantren, dengan suara tercekat saat ditemui Senin (28/7/25).

Apa yang terbakar malam itu bukan hanya bangunan fisik. Tapi juga kenangan, harapan, dan kenyamanan yang perlahan dibangun selama bertahun-tahun. Asrama yang baru saja direnovasi. Lemari kayu yang masih wangi. Kitab-kitab kuning yang disusun dengan rapi semuanya hangus jadi abu.

“Tilamnya baru, kitabnya baru, semua baru. Kami perkirakan kerugian sekitar Rp 300 juta,” ujar Ustadz Amin. “Tapi bukan cuma soal uang. Yang terbakar itu tempat tinggal anak-anak, tempat mereka tumbuh dan belajar.”

Namun di tengah kehancuran itu, ada satu hal yang tidak bisa dilalap api. Semangat mereka!

Pesantren Mamba’u Darissalam berdiri sejak 2018, dibangun bukan dengan dana besar, tapi dengan keyakinan dan cita-cita untuk mendidik generasi muda dalam ilmu agama. Di bawah asuhan Guru Muhammad Arsyad, pesantren ini menawarkan pendidikan enam tahun dengan sistem penguatan kitab kuning, mulai dari jenjang setara SMP hingga SMA.

Kini, setelah musibah, sekitar 84 santri laki-laki harus dipulangkan sementara. Tapi tidak ada jeda dalam niat belajar. Kegiatan pendidikan tetap berjalan. Para pengurus berbenah, menyiapkan ruang kelas sebagai asrama darurat.

“Listrik dan air sedang kami benahi. Begitu selesai, anak-anak akan kembali dan tinggal di kelas yang kami sulap jadi tempat tidur,” kata Ustadz Amin.

Di tengah debu dan puing-puing, kehidupan perlahan dibangun kembali. Pondasi bangunan baru mulai didirikan. Di bagian belakang kompleks, tiang-tiang cakar ayam telah berdiri, menandai awal dari kebangkitan kembali.

Masyarakat sekitar merespons cepat. Donasi spontan mengalir dari berbagai penjuru. Hingga hari ini, sekitar Rp 60 juta berhasil dikumpulkan sebuah bukti bahwa Mamba’u Darissalam tidak sendiri.

“Kami sangat bersyukur. Tapi tentu masih jauh dari cukup. Sisanya akan kami upayakan, dari pribadi, dan tentu kami juga berharap pemerintah bisa membantu,” ujar sang ustadz.

Pesantren ini juga dikenal memiliki sistem beasiswa silang. Mereka yang mampu membayar lebih untuk menutupi biaya pendidikan para santri yatim atau dari keluarga kurang mampu.

“Yang tidak mampu tetap kami tampung. Yang mampu, kami minta bantu sedikit lebih. Karena pondok ini dibangun atas dasar gotong royong,” katanya.

Yang paling menyayat justru bukan puing atau abu, tapi wajah-wajah kecil yang tetap datang ke pondok meski tak punya tempat tidur. Mereka duduk di tangga masjid, menunggu kapan bisa kembali tinggal di pesantren. Di tangan mereka masih tergenggam kitab yang lolos dari api. Di mata mereka, masih ada tekad keras untuk terus belajar.

“Kami belum selesai belajar,” ucap seorang santri kepada pengasuhnya. Dan benar. Mereka belum selesai. Mamba’u Darissalam belum selesai.

Bangunan boleh runtuh, kitab boleh hangus, lemari boleh jadi bara. Tapi iman dan ilmu tidak akan pernah terbakar. Karena pesantren bukan sekadar dinding dan atap. Ia adalah rumah harapan. Ia adalah tempat iman ditumbuhkan, bahkan dari abu sekalipun.

“Kalau bukan kita yang bangun kembali, siapa lagi?” kata Ustadz Amin sambil menatap reruntuhan. “Kami percaya, ini bukan akhir. Ini awal dari semangat yang lebih besar,” tutupnya. (*)

Penulis: Ifa

Editor: Vinsensius