Istana Ini Pernah Hancur, Tapi Jiwanya Tak Pernah Mati

istana
Istana Kuning atau dalam nama aslinya Istana Indera Sari Bukit Indra Kenca. Foto: Ist

DI tengah geliat pembangunan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, berdiri anggun sebuah bangunan bersejarah. Istana Kuning. Atau dalam nama aslinya Istana Indera Sari Bukit Indra Kencana. Meski namanya “kuning”, bangunan ini didominasi warna cokelat kehitaman khas kayu ulin tegak menyimpan jejak panjang Kesultanan Kutaringin, satu-satunya kerajaan Islam bercorak Melayu di Kalimantan Tengah.

Di balik dinding kayu dan ukiran Melayu itu, seorang pria berdedikasi menjaga ruh Sejarah. Gusti M. Nasar Halil, 44 tahun, juru pelihara sekaligus keturunan Sultan ke-11 Kutaringin, Pangeran Ratu Anum Kusumayuda.

Bagi Gusti Nasar, menjaga istana bukan sekadar tugas harian, melainkan amanah leluhur. Ia mewarisi tanggung jawab untuk merawat bukan hanya bangunan, tapi juga identitas dan cerita yang membentuk peradaban di tanah Kotawaringin.

“Istana Kuning adalah pusat pemerintahan Kesultanan Kutaringin sejak dipindahkan dari Kotawaringin Lama oleh Sultan ke-9, Pangeran Ratu Imanudin, pada tahun 1806,” ucapnya, Jumat (25/7/2025), sambil menunjuk ke bangunan utama yang kini merupakan replika dari istana asli.

Gusti Nasar masih ingat betul bagaimana istana yang ia cintai nyaris hilang dari peradaban. Tahun 1986, kobaran api menghanguskan hampir seluruh bangunan asli. Yang tersisa hanya tiang bendera di halaman depan. Sebuah simbol yang kemudian menjadi saksi kesedihan dan harapan.

“Yang tersisa hanya itu. Semuanya habis,” kenangnya pelan.

Tapi sejarah tidak boleh berakhir di puing-puing. Atas inisiatif keluarga kesultanan dan masyarakat, didukung semangat gotong royong, Istana Kuning dibangun kembali tahun 2000–2001. Kini, ia berdiri di atas lahan seluas 2.000 meter persegi, dengan bangunan-bangunan khas seperti Balai Pehadiran (ruang makan), Bangsal (aula), dan Keraton Dalam Kuning yang dulunya menjadi kediaman para sultan.

Sebuah kereta kencana kuno terparkir gagah di tengah ruangan. Empat pucuk meriam buatan 1840 berjajar di sisi barat. Kain kuning dan hijau menghiasi dinding, menghidupkan kembali suasana kejayaan Melayu masa lampau.

Namun bagi Gusti Nasar, perjuangan belum usai. “Istana ini belum sempurna. Masih ada dua bangunan penting yang belum dibangun. Kami harap pemerintah bisa lebih memperhatikan,” ucapnya dengan nada tenang tapi jelas.

Ia tak menuntut lebih, hanya keadilan untuk sejarah. Meski telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan ikon Pangkalan Bun, pengelolaan istana tetap diserahkan kepada keluarga kesultanan. Sebuah penghormatan terhadap garis warisan.

Menjadi keturunan sultan, bagi Gusti Nasar, bukan perkara status. Melainkan warisan tanggung jawab. Setiap hari, ia membuka pintu istana untuk wisatawan, pelajar, hingga peneliti. Ia menjelaskan satu per satu simbol, ukiran, dan kisah di balik setiap sudut bangunan.

“Kami ingin masyarakat tahu, ini bukan sekadar bangunan. Ini napas sejarah yang masih hidup. Tempat belajar dan mengenang, agar kita tidak tercerabut dari akar budaya,” katanya.

Dalam era yang serba cepat dan penuh distraksi, keberadaan sosok seperti Gusti Nasar menjadi penanda penting bahwa di tengah kemajuan, jejak sejarah harus tetap dirawat, bukan dilupakan.

“Selama istana ini berdiri, selama itu pula sejarah Kutaringin akan terus hidup,” pungkasnya, tersenyum di depan bangunan kuning yang pernah dilalap api, tapi kini kembali bersinar. (*)

Penulis: Ifa
Editor: Vinsensius