Ketua GAPKI: Keadaan Tidak Baik, Banyak Anggota Bermasalah

gapki
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono saat sampaikan sambutan, Jumat (28/6/24).FOTO: IFA

PALANGKA RAYA – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, membeberkan, kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dimana, banyak anggota yang bermasalah, petani yang sudah memiliki sertifikat kemudian masuk dalam kawasan hutan sehingga peremajaan sawit pun terganggu.

Dikatakan Eddy, kehadiran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) semoga mampu menyelesaikan masalah-masalah ini.

“Borneo forum ini adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan setiap tahun oleh GAPKI seluruh Kalimantan yang saat ini tuan rumahnya adalah cabang Kalimantan Tengah (Kalteng). Kegiatan forum ini mengambil tema jaminan investasi yang aman untuk pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan,” ujarnya, Jumat (28/6/24).

Dijelaskannya, jumlah total GAPKI seluruh Indonesia 744 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luasan 3,7 juta hektare dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 terdapat 2.056 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia.

Sedangkan luas perkebunan kelapa sawit di Kalteng berdasarkan data dari Dinas Perkebunan tahun 2022 terdapat 1,58 juta di mana 1,36 juta hektare, itu perusahaan perkebunan terdiri dari 202 tetapi yang menjadi anggota GAPKI 117 perusahaan sekitar 800.000 hektare.

“Secara nasional dari 2.058 yang menjadi anggota GAPKI, 744 perusahaan. GAPKI selalu memposisikan diri sebagai partner pemerintah berharap dengan kehadiran bapak menteri kemudian juga support dari Bapak Gubernur, H. Sugianto Sabran kami berharap agar memudahkan koordinasi antara pemerintah dengan pelaku usaha terutama di perkebunan kelapa sawit,” ucapnya.

Hingga saat ini, diungkapkannya, perusahaan kelapa sawit memiliki peran yang sangat penting bahwa saat ini ada 16,2 juta Kepala Keluarga (KK) yang terlibat dalam sawit Indonesia.

“Di tahun 2022 Indonesia dari devisa sawit memecahkan rekor yang luar biasa dengan menghasilkan devisa ekspor sebesar Rp 39 miliar yang menyebabkan neraca bulanan kita surplus Rp 55,77 miliar,” imbuhnya.

Bahkan, lanjutnya, di saat Covid-19 lalu, ia mengaku pihaknya mendapatkan laporan, dimana saat pengurangan karyawan namun perusahaan sawit justru mendapatkan penambahan karyawan. Bahkan, diterangkannya, saat ini pun masih bisa memberikan sumbangsih ekonomi walaupun di tahun 2023 terjadi penurunan sekitar Rp 30,32 miliar karena harga Internasional turun.

 

“Saat ini masih ada masalah-masalah bahwa dalam lima tahun terakhir ini produksi kita stagnan di satu sisi konsumsi kita setiap tahun naik, 2019 konsumsi kita sebesar 19 persen dari produksi, tahun 2023 meningkat 42 persen. Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, di satu sisi menjadi konsumen terbesar,” pungkasnya. (ifa/cen)