Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Perlu Dukungan

hutan
Sekda Kabupaten Katingan Pransang S.Sos SAAT membuka Lokakarya Multipihak Membangun Prosedur Monitoring Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari (IPHL), di Aula BKAD Katingan, Kamis (9/2/2023). Foto: Ist

KASONGAN – Sekda Kabupaten Katingan Pransang S.Sos, membuka kegiatan Lokakarya Multipihak Membangun Prosedur Monitoring Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari (IPHL), di Aula BKAD Katingan, Kamis (09/02/2023). Kegiatan yang digagaas pihak WWF – Indonesia Kalimantan Tengah tersebut dihadiri sejumlah camat, perwakilan UPT Dinas kehutanan, serta beberapa perusahaan dana masyarakat.

Dalam sambutannya, Sekda mengatakan bahwa Perhutanan Sosial di Indonesia mulai dirintis Tahun 1990. Perkembangannya mendapatkan momentum semenjak terbitnya peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 terkait perhutanan sosial.

“Sampai bulan Februari 2022, telah diterbitkan 22 persetujuan perhutanan sosial. Itu terdiri dari 9 persetujuan hutan desa, 11 persetujuan hutan kemasyarakatan dan dua persetujuan hutan tanaman rakyat dengan luas total 37.759 hektar,”ujarnya.

Menurut dia, tantangan pengembangan usaha pada hutan yang dikelola oleh masyarakat cukup besar. Seperti dukungan infrastruktur yang belum memadai, khususnya dalam hal sarana transportasi dan komunikasi. “Selain itu akses pasar juga menjadi tantangan, terutama pada jenis komoditas yang tidak berkesinambungan permintaannya, ” tutur Pransang.

BACA JUGA :  PPPK Tahap Pertama dan CPNS Terima SK Pengangkatan

Oleh karena itu, lanjut Sekda, unit pengelolaan hutan oleh masyarakat perlu mendapatkan perhatian dan dukungan. Pasalnya, pemanfaatan sumber daya hutan sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan.

“Saat ini telah dilakukan serangkaian fasilitasi revisi serta penyusunan rencana pengelolaan dan rencana kerja tahunan untuk tiga perhutanan sosial oleh yayasan yang berada di Tumbang Habangoi, Tumbang Kawei dan Tumbang Mangara,” sebutnya.

Selain itu, juga telah difasilitasi kepada perkumpulan petani rotan yang ada di enam kecamatan. Hingga kemudian, berhasil mendapatkan sertifikat FSC Forest Management and Chain Of Custody untuk hasil hutan bukan kayu khususnya komoditas rotan yang pertama di Indonesia.

“Oleh karena itu, melalui lokakarya ini kiranya dapat menghasilkan suatu kesepakatan bersama,” ucapnya.

Sehingga nantinya, model prosedur pengawasan dapat diterima semua pihak, khususnya unit pengelolaan ini agar dapat berkelanjutan dari segi ekologis. “Selain itu, diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi yang memadai masyarakat pengelolaannya,” tutupnya. (ndi/cen)