PALANGKARAYA – Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum dosen tetap yang diketahui mengajar di Fakultas Teknik Universitas Palangkaraya (UPR) berinisial VAG, akan berdampak negatif pada perguruan tinggi tertua di Kalteng bila tidak segera diselesaikan.
Hal ini diungkapkan salah satu alumni UPR yang tergabung dalam pengurus ikatan alumni UPR dan juga Ketua Biro Pertahanan dan Keamanan Adat DAD Kalteng, Ingkit Benny Sam Djaper.
Saat dibincangi melalui selulernya, Ingkit menilai pada prinsipnya UPR harus menerapkan penyelesaian dugaan kasus pelecehan seksual sesuai aturan yang berlaku.
“Bila nanti dugaan itu terbukti dan berkekuatan hukum tetap melalui proses peradilan, petinggi UPR harus memberi sanksi yakni pemberhentian secara tidak hormat. Acuannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan juga sesuai Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi,” terangnya.
Dirinya juga menyampaikan, dalam aturan Permen No. 30 Tahun 2021 (Permen PPKS) dan UU No. 5 Tahun 2014 itu sudah sangat jelas tertulis, tersurat, dan tersirat soal sanksi yang diberikan kepada setiap oknum dosen bersangkutan. Sanksinya mulai dari peringatan, permintaan maaf secara terbuka sampai pada diberhentikan tidak hormat.
“Bila mengacu pada Permen No.30 Tahun 2021, dalam mekanismenya sangat jelas sekali bahwa perihal proses penyelidikan hingga penentuan sanksi ini nantinya akan ditentukan oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dibentuk oleh panitia seleksi yang terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Bila melihat dari ungkapan pihak rektorat di media, mereka membentuk tim adhoc ya, menurut saya itu belum tepat,”ungkapnya.
Lanjutnya, bahkan menurut aturan yang dia ketahui, panitia seleksi juga harus memenuhi syarat antara lain, pernah mendampingi korban kekerasan seksual, pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, gender, disabilitas, pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya pada isu kekerasan seksual, gender, disabilitas atau tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual.
“Permen PPKS ini adalah jawaban atas sejumlah keresahan organisasi dan perwakilan mahasiswa atas tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tentunya harus segera ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. Hal ini sebagai bentuk keberpihakan pimpinan perguruan tinggi agar efek jera dan peringatan keras bagi lingkungan kampus secara khusus,” ucapnya.
Dirinya juga menerangkan, ada batas waktu yang diberikan kepada perguruan tinggi untuk menyelesaikan adanya dugaan kasus pelecehan seksual didalam kampus. Bila dalam kurun waktu itu belum ada penyelesaian, tentu ada sanksi yang akan diberikan kepada UPR.
“Semua sudah tertulis dalam Permen PPKS tersebut. Namun saya yakin dan percaya Rektor UPR saat ini, bisa menerapkan aturan itu dengan tegas dan mampu menyikapi persoalan ini dengan adil dan bijaksana. Pada kepemimpinan rektor terdahulu yang pernah menangani kejadian yang sama, dimana pelakunya pun mendapatkan sanksi tegas. Saya yakin ini akan dilakukan kembali oleh Rektor UPR yang baru, terlepas dari persoalan apa pun itu,” tutupnya. (rul/cen)