PALANGKA RAYA – Rektor Universitas Palangka Raya (UPR), Dr Andrie Elia, berkeinginan membangun ekosistem wisata budaya berkelas dunia.
Hal itu, ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional Budaya Nusantara, Minggu (5/10/2021).
Seminar budaya tersebut mengangkat tema Ritual Kematian Dalam Perspektif Budaya dan Pariwisata yang dilaksanakan secara virtual.
Rektor mengatakan, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk membangun ekosistem wisata budaya yang berkelas dunia.
Seperti mendesain wisata budaya dengan mempertimbangkan aspek bisnis pariwisata. Mengagendakan waktu khusus untuk antraksi budaya yang masuk dalam kalender pariwisata.
“Jadi yang harus dipersiapkan adalah SDM pariwisata yang berkelas dunia baik dari sisi pelayanan maupun publik speaking,” ucap rektor.
Lanjutnya, saat ini banyak program kerja pemerintah di beberapa sektor di tengah pandemi Covid-19. Satu dianggarannya, bagaimana membangkitkan sektor pariwisata.
“Pengembangan sektor pariwisata ditengah pandemi Covid-19, tentu tidak mudah. Oleh itu perlu kajian akademis, regulasi, aturan serta cara masukan dari semua elemen,” katanya.
Rektor juga mengatakan, dalam peningkatan SDM pariwisata dari sisi kualitasnya, pemerintah dapat berkordinasi dengan lembaga pendidikan, satu diaranya adalah perguruan tinggi atau universitas.
Selain itu dari sisi SDM, pemerintah juga harus mempersiapkan sektor pendukung lainnya. Yakni infratruktur, modal usaha bagi pelaku usaha pariwisata, promosi dan regulasi.
“Selain itu juga, pemeritah dapat mempersiapkan infrastruktur yang mendukung ekosistem pariwisata seperti bandara internasional, akses jalan, penginapan, restoran, pusat perbelanjaan, pusat kebudayaan dan rumah sakit kelas A,” katanya.
Dalam kegiatan itu juga, rektor juga berbagi edukasinya terkait kekayaan budaya di Indonesia, khususnya di kalteng. Lebih khusus lagi, terkait ritual kebudayaan pada upacara kematian. Pasalnya tradisi budaya ritual kematian, memiliki nilai budaya dan ekonomis tersendiri.
“Salah satu nya adalah Tiwah yang merupakan ritual kematian tingkat kedua dalam kepercayaan umat Kaharingan (Kepercayaan leluhur suku Dayak) untuk mengantarkan roh manusia menuju surga (lewu tatau),” ujar Tokoh Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah tersebut.
Ritual kematian lainnya adalah Rambu Solo yang berasal dari Toraja, upacara kematian Rambu Solo diselenggarakan secara besar-besaran. Upacara tersebut disertai dengan upacara penyembelihan hewan ternak, terutama kerbau. Semakin tinggi status sosial maka semakin banyak kerbau yang akan disembelih. Jumlah kerbau tersebut dapat berkisar antara 24-100 ekor.
Ada lagi upacara Ngaben yang berasal dari Bali, upacara ini berupa proses kremasi. Selain itu ada juga Mumifikasi dari suku Asmat. Tidak sembarang jenazah yang dimumifikasi oleh suku Asmat. Tradisi ini hanya dilakukan pada jenazah-jenazah kepala suku atau orang-orang tertentu yang memiliki posisi penting dalam suku tersebut.
“Ritual kematian merupakan antraksi budaya yang unik, menarik dan mampu mendongkrak kunjungan pariwisata. Akan tetapi selama ini, ritual kematian sebagai produk budaya belum dikemas dengan baik untuk menjadi produk pariwisata. Seharusnya dengan mempertahankan kesakralan ritual kematian dan dikemas dengan penyajian bisnis pariwisata akan mendongkrak pendapatan devisa negara,” demikiannya. (rul/abe/cen)