RATUSAN warga tumpah ruah di tepian Sungai Mentaya, Rabu (20/8/2025). Mereka bukan sekadar mandi bersama, melainkan melaksanakan sebuah tradisi sakral bernama Mandi Safar—ritual warisan leluhur yang diyakini sebagai doa keselamatan sekaligus tolak bala.
Setiap Rabu terakhir di bulan Safar, masyarakat pesisir Mentaya berkumpul untuk melakoni ritual ini. Di kawasan Jalan Baamang Tengah I, anak-anak tampak riang menyelam, orang dewasa membasuh wajah dengan khusyuk, sementara para sesepuh memandang dengan penuh makna.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim, Bima Eka Wardhana, menjelaskan bahwa Mandi Safar sudah mendarah daging di kalangan masyarakat pesisir.
“Tradisi Mandi Safar diyakini sebagai sarana membersihkan lahir dan batin. Dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Safar atau yang disebut Arba Musta’mir,” jelasnya, Kamis (21/8/2025).
Air Sungai Mentaya pada momentum ini dipercaya menjadi media penyucian diri. Ritual mandi bersama diyakini menjauhkan diri dari dengki, iri, fitnah, hingga kesialan.
Salah satu ciri khas Mandi Safar adalah penggunaan daun sawang. Daun ini dikalungkan di leher atau diikat di pinggang peserta, setelah sebelumnya dirajah oleh alim ulama atau sesepuh adat.
“Peserta Mandi Safar diwajibkan membawa daun sawang yang sudah dirajah. Itu simbol perlindungan dari gangguan makhluk halus maupun binatang liar,” ujar Bima.
Ritual Mandi Safar pernah jarang digelar secara besar-besaran, terutama karena faktor keamanan. Terakhir kali kegiatan ini difasilitasi pemerintah daerah pada 2019. Tahun 2025, tradisi tersebut kembali hidup di Kota Besi berkat inisiatif masyarakat.
Meski sederhana, bagi warga Sampit Mandi Safar bukan sekadar percikan air. Ia adalah doa, pengharapan, dan ikatan sosial yang mempererat kebersamaan. Nilai-nilai itu diwariskan dari orang tua ke anak-anak, agar tradisi tetap bertahan lintas generasi. (*)
Penulis : Apri
Editor : Vinsensius
BACA JUGA : Guru Honorer “Beban Negara”