Membawa Tradisi Lewat Gerobak, Usaha Rahmat Lestarikan Anyaman

gerobak
Rahmat Sudrajat dengan gerobaknya, sedang menjajakan dagangan aneka barang dari rotan di Palangka Raya, Rabu (24/9/2025). Foto: Ist

DI tengah lalu lintas kota Palangka Raya yang kian padat, sebuah gerobak sederhana tampak menyusuri jalanan. Gerobak itu bukan menjajakan makanan atau minuman seperti kebanyakan pedagang kaki lima. Di atasnya, tersusun rapi tudung saji, keranjang bawang, sapu lidi, dan aneka barang rotan lainnya. Semuanya hasil kerajinan tangan, berwarna natural, dan menyimpan cerita panjang dari seutas rotan yang dijalin pelan-pelan menjadi karya bernilai.

Gerobak itu milik Rahmat Sudrajat (30), seorang pedagang keliling yang sudah menekuni kerajinan tangan dari bambu dan rotan sejak tahun 2016. Bagi Rahmat, berjualan bukan hanya soal mencari nafkah. Setiap kali ia mendorong gerobaknya, ia juga sedang membawa serta warisan seni tradisional yang mulai dilupakan.

“Orang lihatnya ini cuma barang rumah tangga, padahal ini hasil karya seni juga. Setiap anyaman itu dibuat dengan tangan, butuh ketelitian dan kesabaran. Bukan cuma jualan, saya lagi bawa budaya juga,” ujarnya sambil tersenyum, Rabu (24/9/25).

Rahmat bukan asli Palangka Raya. Ia mengaku telah menjajakan kerajinan ini ke berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Papua, Maluku, Sulawesi, hingga Bangka di Sumatera. Kini, ia menetap sementara di Palangka Raya, membawa serta puluhan jenis produk kerajinan yang semuanya berasal dari perajin di Pulau Jawa.

“Saya keliling Indonesia bawa gerobak ini, bukan cuma nyari pembeli. Saya juga ingin orang-orang tahu bahwa kerajinan seperti ini masih ada, masih dikerjakan manual, dan masih layak dihargai,” katanya.

Setiap hari, Rahmat berkeliling menggunakan gerobaknya menyusuri rute-rute yang sudah di atur. Hari ini ia mungkin berada di Jalan RTA Milono, besok pindah ke Jalan G. Obos, lusa ke Jalan Tjilik Riwut, dan seterusnya.

“Satu minggu saya putar ulang rutenya. Biasanya Senin ke RTA. Milono, Selasa ke G. Obos, Rabu ke Tjilik Riwut. Muter aja begitu terus,” ucapnya.

Di balik kegiatan harian itu, ada upaya konsisten untuk memperkenalkan produk-produk buatan tangan kepada masyarakat. Rahmat percaya, bertemu langsung dengan pembeli adalah cara terbaik memperlihatkan bahwa barang yang dijualnya bukan buatan pabrik, tapi buatan hati.

Dari 40-an jenis barang yang ia jual, semuanya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Sebut saja piti, tempat bawang, yang bisa dibuat 5 buah perhari oleh perajin yang sudah mahir. Tapi untuk barang yang lebih rumit seperti tudung saji, satu orang hanya mampu menyelesaikan 2-3 buah dalam sehari.

“Semua dikerjakan manual. Dari belah bambu, potong rotan, sampai proses menganyamnya. Kalau belum biasa, bisa makan waktu berjam-jam,” jelas Rahmat.

Barang-barang itu dijual dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 30.000 untuk sapu lidi, hingga Rp 190.000 untuk tudung saji berbahan rotan. Tak ada yang mahal, mengingat kerumitan pengerjaan dan nilai seninya.

Sayangnya, kesenian seperti ini belum banyak mendapat tempat di ruang-ruang formal seperti pameran atau galeri. Rahmat sendiri mengaku belum pernah ikut pameran karena tidak tahu prosedurnya.

“Saya belum pernah ikut pameran, bukan nggak mau, tapi belum ngerti cara daftarnya gimana. Padahal kalau ada kesempatan, saya mau banget ikut. Biar lebih banyak orang tahu,” katanya.

Namun Rahmat tidak menunggu undangan dari galeri. Dengan gerobaknya, ia menciptakan galerinya sendiri, bergerak dari jalan ke jalan, dari kampung ke kampung. Ia menjajakan seni, bukan hanya barang. Menjual keterampilan, bukan hanya produk. Dan yang terpenting, ia menenun harapan agar kerajinan lokal tetap hidup.

Di tangan Rahmat Sudrajat, gerobak bukan hanya alat untuk berdagang, tapi juga panggung bergerak bagi seni anyaman tradisional. Di tengah arus modernisasi, ia tetap teguh berjalan secara harfiah dan makna menghidupi dan menghidupkan warisan budaya Indonesia, satu anyaman, satu langkah, dan satu cerita dalam setiap gerobaknya. (*)

Penulis: Siti Nur Marifa

Editor: Vinsensius

BACA JUGA : Dari Amerika Latin ke Palangka Raya: Perjalanan Iguana Menjadi Primadona Reptil