DI sudut halaman sekolah, dua siswi SMP Negeri 1 Sampit tampak sibuk menunjukkan hasil penelitian mereka. Siapa sangka, racikan sederhana dari daun liar yang tumbuh di sekitar Kota Sampit mampu mengantarkan mereka hingga ke kancah internasional.
Mereka adalah Elena Giselle Lantang dan Ilonka Rezky Hyzkia, dua siswi kelas VIII yang baru berusia 13 tahun. Meski masih belia, keduanya berhasil mengolah tanaman Cassia alata L. atau yang akrab disebut daun gelinggang, menjadi obat herbal berkhasiat.
“Awalnya saya dapat cerita dari Tambi (nenek). Katanya dulu orang Dayak sering mencari daun gelinggang untuk mengobati gatal-gatal,” kenang Elena, Senin (22/9).
Cerita sederhana itu tak berhenti sebagai dongeng sebelum tidur. Justru menjadi pijakan lahirnya penelitian yang kini mencuri perhatian dunia pendidikan. Dari proses menjemur, memblender, hingga menyuling, mereka berhasil menciptakan produk herbal bernama Gelinglen—gabungan nama keduanya.
Daun gelinggang dikeringkan selama tiga hari hingga beraroma mirip teh matcha, kemudian diblender dan diekstrak dengan etanol 96 persen. Hasil ekstraksi menunjukkan adanya zat fitokimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan steroid.
“Zat-zat itu bisa meredakan peradangan dan gatal. Sudah kami uji dengan bahan kimia pereaksinya, hasilnya positif,” jelas Ilonka.
Produk Gelinglen hadir dalam dua bentuk: obat oles untuk gatal dan semprotan antiketombe. Khasiatnya juga sudah teruji. Luka bakar yang dialami ibu Ilonka, misalnya, sembuh hanya dalam 3–5 hari setelah pemakaian rutin.
Penelitian ini kemudian diikutkan pada Lomba Peneliti Belia (LPB) Center for Young Scientist (CYS) tingkat nasional. Tak disangka, Elena dan Ilonka sukses mengalahkan ratusan peserta lain dari seluruh Indonesia. Prestasi itu mengantarkan mereka menjadi wakil Indonesia dalam kompetisi internasional di Cyberjaya, Malaysia, 24–28 September mendatang.
“Semoga bisa lancar lombanya dan bisa membawa pulang juara,” ucap keduanya penuh harap.
Kepala SMPN 1 Sampit, Suyoso, mengaku bangga. Menurutnya, penelitian siswinya adalah bukti bahwa kreativitas anak daerah bisa menghasilkan karya nyata.
“Sudah ada siswa yang meneliti sebelumnya, tapi baru Elena dan Ilonka yang hasilnya bisa jadi produk. Harapannya, ini bukan hanya untuk lomba, tapi juga bermanfaat luas bagi masyarakat,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari Kepala Dinas Pendidikan Kotim, Muhammad Irfansyah. Ia menyebut prestasi ini sebagai kebanggaan besar bagi daerah.
“Kalau di kota besar mereka punya laboratorium lengkap. Sedangkan di sini, mencari bahan kimia sederhana saja sulit. Tapi anak-anak kita sudah membuktikan, keterbatasan bukan halangan untuk berprestasi,” tegasnya.
Apa yang dilakukan Elena dan Ilonka sejatinya adalah menyambungkan kembali kearifan lokal dengan ilmu pengetahuan modern. Ramuan tradisional suku Dayak kini tampil dalam bentuk baru: praktis, ilmiah, dan mendunia.
Kecil-kecil cabe rawit, begitulah gambaran dua siswi SMPN 1 Sampit ini. Dari tanaman liar di pekarangan, lahirlah karya yang siap mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. (*)
Penulis: Sindy Apriansyah
Editor: Vinsensius
BACA JUGA : Ketika Horor Menjadi Cermin, Kisah Mahasiswa ULM Asal Kotim Angkat Skizofrenia ke Layar Lebar Mini