Dari Amerika Latin ke Palangka Raya: Perjalanan Iguana Menjadi Primadona Reptil

iguana
Huda (40), pecinta iguana yang tergabung dalam Komunitas Alpesat, saat mengedukasi masyarakat di kegiatan Car Free Day, Minggu (21/9/25). Foto: Ifa

SIAPA sangka, seekor reptil besar yang berasal dari hutan tropis Amerika Latin kini menjadi hewan peliharaan favorit di tengah masyarakat Palangkaraya. Adalah Iguana, reptil berdarah dingin yang dulu dianggap liar dan berbahaya, kini tampil memukau di berbagai pameran satwa eksotik dan jadi primadona baru bagi para penghobi hewan reptil.

Salah satu pencinta iguana di Palangkaraya, Huda (40), telah lama memelihara dan mengenalkan iguana kepada publik melalui komunitas Alpesat (Aliansi Pencinta Satwa Palangkaraya). Dalam kegiatan rutin yang diadakan di pusat kota setiap akhir pekan, ia membawa iguananya yang berukuran besar dan berwarna mencolok untuk dipamerkan dan dijelaskan kepada pengunjung.

“Iguana ini memang bukan asli Indonesia. Asalnya dari Amerika Latin, tapi sekarang sudah banyak yang diternakkan di Indonesia, termasuk di Kalimantan,” ujar Huda saat ditemui di lokasi pameran, Minggu (21/9/25).

Iguana yang dipelihara Huda bukan sembarang jenis. Beberapa di antaranya merupakan jenis albino dan merah yang langka, dengan harga yang tak bisa dibilang murah. Bayi iguana albino saja bisa mencapai hampir Rp 1 juta. Kalau yang red baby nya Rp 300 ribuan.

“Harganya tergantung jenis dan ukuran. Kalau green iguana yang umum, bisa mulai dari Rp 200 ribuan untuk bayi. Tapi kalau yang jenis langka seperti albino atau merah, harganya bisa jauh lebih tinggi,” jelasnya.

Meski reptil ini bukan satwa asli Indonesia, minat masyarakat terhadap iguana terus meningkat. Selain penampilannya yang eksotis, iguana juga dianggap relatif jinak dan bisa dilatih sejak kecil. Namun, Huda menekankan pentingnya mendapatkan iguana dari hasil penangkaran legal, bukan dari alam liar.

“Kami selalu tekankan edukasi soal ini. Jangan ambil dari alam. Kalau dari penangkaran, sudah terbiasa dengan manusia dan tidak mengganggu populasi liar,” tambahnya.

Komunitas Alpesat sendiri kerap diundang untuk melakukan edukasi di sekolah-sekolah dan menghadiri berbagai event publik. Tujuan utamanya bukan sekadar memperkenalkan hewan eksotik, tetapi juga membangun pemahaman bahwa satwa yang dulu dianggap berbahaya bisa menjadi hewan peliharaan yang menyenangkan dan bertanggung jawab.

Dalam pameran mingguan yang digelar di Palangkaraya, iguana kerap menjadi daya tarik utama, terutama bagi anak-anak dan remaja. Beberapa pengunjung bahkan mengaku baru pertama kali melihat langsung iguana dari dekat.

“Anak-anak sering penasaran. Mereka pikir reptil itu pasti galak. Tapi pas lihat iguana yang tenang dan bisa digendong, mereka jadi tertarik,” cerita Huda sambil tersenyum.

Perjalanan iguana dari hutan Amerika Latin hingga ke Palangkaraya bukan hanya cerita tentang perdagangan hewan eksotik, tetapi juga kisah tentang perubahan perspektif masyarakat terhadap reptil. Dari yang dulu dianggap asing dan menakutkan, kini menjadi simbol gaya hidup, edukasi, bahkan peluang ekonomi baru bagi para peternak lokal. (*)

Penulis: Siti Nur Marifa

Editor: Vinsensius

BACA JUGA : Prilly & Sheila Dara Bawa Semangat Sinema ke Bumi Tambun Bungai