Opini  

Kalteng Tanpa Pers

pers kalteng
Para jurnalis sedang melakukan wawancara. Foto: Ilustrasi

BAYANGKAN jika Kalimantan Tengah (Kalteng) benar-benar hidup tanpa pers. Tidak ada koran, radio, televisi lokal, atau media daring. Apa yang akan tersisa? Hanya kabar burung, rumor, dan propaganda yang bebas berkeliaran tanpa tandingan.

Pers bukan sekadar penyampai berita. Ia adalah instrumen demokrasi, alat kontrol sosial, dan ruang aspirasi rakyat. Di tengah luasnya wilayah Kalteng, dari kota Palangka Raya hingga desa-desa terpencil, pers hadir sebagai jembatan yang menghubungkan suara rakyat dengan kebijakan pemerintah. Tanpa pers, suara-suara itu akan tenggelam, digantikan kepentingan segelintir elit.

Ketiadaan pers berarti hilangnya ruang transparansi. Siapa yang akan mengawasi proses tender proyek? Siapa yang berani menyoroti kerusakan infrastruktur, pelayanan publik yang buruk, atau pencemaran lingkungan oleh korporasi? Tanpa pers, celah untuk praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan justru makin lebar.

Pers juga berperan sebagai pencatat sejarah lokal. Dari panen raya padi di Kapuas, perjuangan masyarakat adat mempertahankan tanah, hingga kisah sukses anak daerah, semua terdokumentasi berkat kerja jurnalis. Jika pers tiada, sejarah Kalteng akan terputus, hanya tersisa cerita samar yang tercecer di media sosial.

Namun, keberadaan pers kita kini menghadapi tekanan. Intervensi politik, keterbatasan finansial, serta derasnya arus informasi digital yang sering kali menyingkirkan karya jurnalistik mendalam. Situasi ini membuat media lokal berjalan pincang, padahal harapan masyarakat terhadap pers tetap besar.

Kalteng tidak boleh tanpa pers. Kehadiran pers yang kuat, independen, dan berintegritas adalah syarat mutlak agar demokrasi tidak sekadar slogan. Masyarakat harus mendukung kebebasan pers, sementara pemerintah wajib menjamin iklim kerja yang sehat bagi insan media.

Karena tanpa pers, yang tersisa hanyalah ruang hampa. Rakyat kehilangan suara, pemerintah kehilangan kontrol, dan demokrasi kehilangan nyawanya. (*)

Penulis: Vinsensius