Mengenang Syekh Ghazali, Ulama Kharismatik yang Mewariskan Islam Mendalam di Sampit

Syekh Ghazali
Salah satu warga Sampit saat berziarah di makan Syekh Muhammad Ghazali Arsyad Al Banjari, di Gang Rambai 6 Jalan Ir H Juanda, Kota Sampit, Kabupaten Kotim, pada Sabtu (7/9/2025). Foto: Apri

DI sebuah gang kecil bernama Rambai 6, Jalan Ir H Juanda, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), berdiri sebuah makam sederhana. Dikelilingi pagar tinggi berbalut kain kuning, pusara itu menjadi tempat bersemayam ulama besar, Syekh Muhammad Ghazali Arsyad Al Banjari, keturunan langsung Datuk Kalampayan, bersama istrinya.

Syekh Ghazali lahir di Banjarmasin pada tahun 1880. Ayahnya, Syekh Mahmud, berasal dari keluarga besar ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau Datuk Kalampayan.

Sejak belia, Ghazali sudah menaruh minat mendalam pada ilmu agama. Kesultanan Banjar kemudian mengirimnya ke Mekkah untuk menimba ilmu, sebuah tradisi yang lazim bagi pemuda pilihan pada masa itu.

Lebih dari satu dekade ia menetap di tanah suci, mendalami fikih, tafsir, hingga tasawuf. Bahkan, ia pernah diminta menetap di sana sebagai imam. Namun panggilan tanah kelahiran tak bisa diabaikan. Atas permintaan Kesultanan Banjar, ia kembali ke Nusantara untuk berdakwah.

“Beliau belajar lebih dari 10 tahun di Mekkah. Memang dulu Kesultanan Banjar rutin mengirimkan murid untuk belajar agama ke sana,” tutur cicitnya, Muhammad Mulianur Arsyad, saat ditemui Sabtu (6/9/2025).

Usai menikahi dua perempuan, Norsam dan Antung Mascape, Syekh Ghazali ditugaskan berdakwah di Sampit. Kota pelabuhan kecil itu masih sederhana. Ajaran Islam memang sudah ada, tetapi sebatas kulit luar.

Kehadiran Syekh Ghazali membawa perubahan besar. Ia mengajarkan fikih, tafsir, hingga ilmu makrifat dengan detail, membuat masyarakat Sampit memahami Islam secara lebih dalam.

“Orang dulu hanya tahu dasar-dasarnya saja. Beliau yang mengajarkan sampai ke hal-hal kecil, misalnya cara wudhu yang benar, hingga tafsir Al-Qur’an,” jelas Mulianur.

Dalam dakwahnya, ia tak sendirian. Ia berdampingan dengan sepupunya, Syekh Abdurrahman, yang lebih dulu mengajar di Sampit. Keduanya membagi wilayah dakwah: Syekh Ghazali berfokus di Mentawa Baru Ketapang hingga Baamang, sedangkan Abdurrahman menyebarkan ajaran Islam hingga Pelangsian.

Hasilnya, dakwah mereka merambah ke pedalaman. Banyak masyarakat hulu yang sebelumnya belum mengenal Islam akhirnya memeluk agama melalui sentuhan dakwah keduanya.

Selain alim, Syekh Ghazali diyakini memiliki karomah. Salah satu kisah yang paling sering dituturkan muridnya adalah ketika air minum di hadapannya tiba-tiba bergetar saat ia sedang mengajar. Tanpa berkata apa pun, ia masuk ke kamar.

Tak lama kemudian, ia keluar dengan pakaian basah kuyup. Ketika ditanya, ia menjawab baru saja menolong kapal yang pecah dihantam ombak.

“Cerita itu turun-temurun diceritakan murid-muridnya. Ada yang bilang beliau masuk kamar, ada juga yang bilang lewat cermin,” ungkap Mulianur.

Syekh Ghazali wafat pada 1991 dan dimakamkan berdampingan dengan istrinya. Hingga kini, makamnya masih kerap diziarahi masyarakat, terutama setiap Jumat.

Meski jasadnya telah lama bersemayam, jejak dakwahnya tetap hidup. Ajaran yang diwariskan turun-temurun membuat Islam di Sampit tak hanya dipahami di permukaan, melainkan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. (*)

Penulis: Sindy Apriansyah

Editor: Vinsensius

BACA JUGA : Tugu Perdamaian Sampit: Dari Darah dan Duka, Lahir Sebuah Harapan