Kapolsek Mentaya Hulu Dituding Arogan saat Hadapi Aksi Warga di Lahan Sengketa

kapolsek
Kapolsek Mentaya Hulu, Ipda Nor Ikhsan yang menggunakan ban lengan kuning saat berbicara lantang kepada kuasa hukum Hartani dari ACC Law Firm. Foto: Tangkapan Layar Video

SAMPIT – Suasana panas terjadi di Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), saat warga bersama kuasa hukum melakukan aksi penutupan lahan sengketa di area PT Tapian Nadenggan, Sei Rindu Estate, Kamis (28/8/2025).

Aksi yang digelar sebagai bentuk perlawanan karena tak kunjung mendapat keadilan itu berujung adu mulut dengan aparat kepolisian. Bahkan, Kapolsek Mentaya Hulu Ipda Nor Ikhsan disebut bersikap arogan hingga mendorong kuasa hukum menggunakan dadanya.

Dalam rekaman yang beredar, Kapolsek tampak berbicara dengan nada tinggi dan menyebut aksi warga sebagai bentuk premanisme.

“Ke persidangan, putusan hakim yang inkrah, bukan aksi premanisme. Kami menjaga kamtibmas,” ucap Kapolsek dengan lantang di hadapan massa.

Pernyataan itu langsung ditanggapi Ida Rosiana Elisya, kuasa hukum Hartani dari ACC Law Firm. “Mana premanisme, Pak? Tidak ada yang memberhentikan di sini. Siapa yang memberhentikan?” tegasnya.

Situasi makin memanas ketika Kapolsek terlihat ngotot sambil mendorong warga dan kuasa hukum menggunakan dadanya, seakan menantang adu fisik.

“Lah, sampeyan tidak minggir saat kami mau lewat. Ajukan ke persidangan perdata, tunggu putusan hakim inkrah baru eksekusi, bukan di lapangan,” katanya lagi dengan suara keras.

Ida menjelaskan, sengketa lahan seluas 179 hektare itu telah berlangsung lama antara kliennya, Hartani, dengan PT Tapian Nadenggan. Sejak 2006, Hartani memperjuangkan hak atas lahan, bahkan rapat tingkat kecamatan pada 2009 disebut telah mengakui kepemilikannya.

Namun, tawaran ganti rugi dari perusahaan hanya Rp15 juta, jumlah yang dianggap tidak wajar. “Somasi sudah kami layangkan tiga kali sejak November 2024, tapi tidak ada tindak lanjut,” ungkap Ida saat dikonfirmasi, Jumat (29/8/2025).

Karena jalur musyawarah buntu, penutupan lahan dipilih sebagai langkah perlawanan. Aksi ini juga bertepatan dengan unjuk rasa mahasiswa di Jakarta yang menyoroti perusahaan perkebunan tersebut.

Ironisnya, menurut Ida, aparat justru lebih keras menghadapi warga dibanding perusahaan. “Ada yang membawa senjata tajam di lokasi, tapi tidak diproses. Sementara kami yang memperjuangkan hak malah ditekan,” ujarnya.

Ia menegaskan pihaknya akan terus memperjuangkan hak Hartani. “Kami berharap kepolisian bersikap netral. Negara harus hadir untuk rakyat, bukan justru membela korporasi,” pungkasnya. (pri/cen)

BACA JUGA : Kasus HIV di Kotim Tembus 50 Orang, Mayoritas Usia Produktif