PALANGKA RAYA – Rektor UPR dr Andrie Elia selaku tokoh adat menyampaikan, bahwa hukum adat dayak berisikan 96 pasal yang ditetapkan dalam Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1892.
Dirinya juga sedikit membahas hal tersebut dan menanggapi sedikit ungkapan dugaan penghinaan terhadap masyarakat Dayak di Kalimantan yang dilontarkan melalui kalimat ‘Kalimantan Tempat Jin Buang Anak’ dan ‘Hanya Monyet yang mau pindah ke Kalimantan.
Dimana katanya ucapan itu melanggar pasal dalam perjanjian tersebut. Bahkan merupakan sebuah pelanggaran berat dan dikenakan pasal berlapis dalam aturan hukum adat.
Disampaikan rektor, hal tersebut merupakan edukasi yang harus diketahui masyarakat, khususnya mahasiswa.
“Tidak kita pungkiri bahwa di Indonesia, kita memiliki hukum positif yang tertuang dalam KUHP. Namun disetiap daerah, khususnya di Kalimantan juga memiliki hukum adat yang masih berlaku dan diakui. Dimana keberadaan hukum adat bisa saja memberatkan hukuman atau bahkan meringankan,” tegasnya.
Apabila dilihat dari kasus Edy Mulyadi saat ini, bisa dikatakan bahwa selain dikenakan hukum Positif, dari sisi hukum adat juga dikenakan pasal berlapis sesuai dengan yang tertuang di dalam perjanjian Tumbang Anoi.
Dijelaskan, bahwa keberadaan hukum adat Dayak bertujuan untuk memutus tali permasalahan dengan jalan damai melalui sidang yang dipimpin oleh majelis dan hakim adat. Sehingga permasalahan antara pihak yang berselisih dapat terselesaikan tanpa adanya dendam dari masing-masing pihak.
“Dalam hukum adat Dayak, tidak ada yang namanya hukuman secara fisik. Karena tujuan dari keberadaan hukum adat Dayak adalah memutuskan tali permasalahan antara pihak yang berselisih,” ujarnya.
Namun hal tersebut dikembalikan lagi kepada Edy Mulyadi, apakah mau menjalani sidang adat atau tidak.
“Yang pasti apabila tidak ada itikad baik dari yang bersangkutan, maka sudah jelas permasalahan akan semakin parah dengan disertai sanksi sosial dari masyarakat dan hidup menjadi tidak tenang, karena menjadi musuh seluruh masyarakat Kalimantan,” tuturnya.
Kendati demikian, sambungnya, sebagai salah satu bagian dari warga negara Indonesia, masyarakat suku Dayak di Kalimantan sangat menghormati keberadaan hukum positif, sebagai hukum yang sah dan menyerahkan kasus Edy Mulyadi kepada aparat penegak hukum.
“Yang penting Edy Mulyadi memang benar – benar tulus meminta maaf kepada masyarakat kalimantan, khususnya suku Dayak. Apalagi kasus penghinaan tersebut berpotensi menyebabkan perpecahan dan mengganggu stabilitas keharmonisan di Kalimantan,” pungkasnya. (rul/abe)