Oleh: Marsudi
(Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Palangka Raya)
PANDEMI Coronavirus Disease (Covid-19) sudah menguras seluruh energi masyarakat Indonesia selama lebih kurang dua tahun terakhir ini. Pemerintah bahkan berusaha mengerahkan seluruh kemampuan dan tenaga untuk menghambat laju pertambahan penyebaran Covid-19.
Kementerian dan Lembaga juga bersama-sama merumuskan kebijakan guna mencegah penyebaran virus yang muncul pertama kali di Wuhan, China ini. Salah satunya adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan aturan yang membahas ihwal asimilasi rumah dan integrasi narapidana.
Aturan tersebut dibuat alam rangka mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia saat ini sudah tergolong dalam kondisi over kapasitas. Jumlah seluruh warga binaan pemasyarakatan (WBP) atau narapidana di Indonesia di awal pandemi mencapai 270.664 orang dengan daya tampung sebenarnya 132.107 orang atau mengalami kelebihan kapasitas mencapai lebih dari 204% (berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan pada Maret 2020).
Kondisi tersebut dalam keadaan normal tentu butuh penanganan ekstra, mulai dari kebutuhan dasar sampai dengan tingkat risiko terhadap gangguan keamanan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kemudian merumuskan suatu kebijakan agar Lapas dan Rutan di Indonesia tidak menjadi klister penularan Covid-19.
Kemudian tercetuslah kebijakan pelaksanaan asimilasi di rumah bagi warga binaan pemasyarakatan dengan menerbitkan peraturan menteri guna menjadi dasar hukum pelaksanaan kebijakan tersebut.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 menjadi aturan pelaksanaan pertama yang menjadi dasar pelaksanaan asimilasi di rumah yang resmi berlaku per tanggal 1 April 2020.
Setelah berlakunya aturan pertama tentang asimilasi di rumah guna mencegah dan menanggulangi Covid-19 di Lapas dan Rutan seluruh Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia secara berkesinambungan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Kemudian muncul tiga Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yaitu Nomor 32 Tahun 2020, 24 Tahun 2021 dan yang terkini adalah Nomor 43 Tahun 2021. Ketiga aturan tersebut sama pada prinsipnya adalah mengupayakan agar Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia tidak menjadi klister baru penyebaran Covid-19.
Berdasarkan data terbaru pada laman http://sdppublik.ditjenpas.go.id/ per 9 Januari 2022, total penghuni Narapidana dan Tahanan yang berada di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia 273.368. Padahal kapasitas maksimal hanya mampu menampung 132.107 atau over kapasitas 229 %.
Asimilasi di rumah tidak diberikan secara cuma-cuma kepada WBP, ada persyaratan administratif dan substantif yang harus dipenuhi. Seorang WBP boleh diusulkan asimilasi di rumah jika sudah menjalani setengah dari masa pidana dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Tindak pidana terorisme, narkotika yang melebihi lima tahun serta kasus yang termasuk tindak pidana asusila tidak boleh diusulkan mendapatkan asimilasi di rumah. Dalam pelaksanaan asimilasi di rumah, warga binaan pemasyarakatan akan diawasi oleh pembimbing
Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) sampai dengan dua per tiga masa pidananya atau memasuki masa reintegrasi sosial. Persyaratan ketat tersebut diberikan agar WBP dalam pelaksanaan asimilasi di rumah tidak melakukan pelanggaran maupun melakukan tindak pidana baru.
Kondisi over kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia tidak akan bisa terselesaikan dalam satu atau dua tahun kedepan. Perlu adanya kebijakan yang komprehensif agar sistem pemidanaan di Indonesia berubah, tidak lagi menjadikan pemerjaraan sebagai pilihan utama pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Asimilasi dirumah hanya salah satu usaha kecil dalam upaya mengurangi over kapasitas yang dilaksanakan guna mencegah penyebaran dan penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.(*)