Opini  

Keadilan Restoratif di Indonesia, Antara Harapan dan Kenyataan

keadilan restoratif
Sumber : merdeka.com

Oleh : Marsudi

(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda pada Bapas Kelas I Palangka Raya)

UBI Societas, Ibi Jus. Itulah bunyi pepatah hukum kuno, dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukumnya. Kemudian nilai luhur tersebut mengilhami para pendiri Bangsa Indonesia guna mendeklarasikan diri sebagai negara hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Konsekuensi logis dalam konstitusi tersebut yaitu menempatkan hukum sebagai norma dasar (grund norm) dalam pembangunan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Pada kenyataannya, saat ini masyarakat sudah mulai abai bahkan tidak percaya lagi dengan hukum yang ada di Indonesia. Hal tersebut bukan tanpa dasar, ketidakadilan sering dirasakan oleh masyarakat terutama di tingkat menengah kebawah.

Jika kita mengingat kasus nenek Asyani yang hanya memungut kayu milik Perhutani di Situbondo, Jawa Timur dijatuhi pidana sesuai dengan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Remaja di Palu, Sulawesi Tengah yang kedapatan mencuri sandal jepit seharga 30 ribu rupiah milik seorang aparat kepolisian, harus berhadapan dengan proes peradilan.

Hal tersebut menjadi sedikit contoh yang menunjukkan hukum di Indonesia tidak berjalan semestinya. Maka tidak heran jika masyarakat kalangan menengah kebawah selalu mendengungkan jika hukum di Indonesia bak mata pedang yang tajam kebawah tapi tumpul keatas.

Aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana seakan mengesampingkan tujuan daripada hukum itu sendiri yang menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, dibuat guna menciptakan ketertiban dan tercapainya keadilan. Aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya hanya memahami aturan secara normatif, bukan merujuk pada nilai substantif suatu aturan.