DI sebuah gang kecil di Jalan G. Obos 8, tepatnya di Gang Bakung 2 No. 87, berdiri sebuah toko mungil bernama “Toko Pakde”. Dari luar, tak ada yang istimewa. Hanya dinding sederhana dan rak-rak kayu seadanya. Namun begitu angin sore berembus dan langit berubah cerah, toko ini mendadak hidup, seperti layangan-layangan yang mulai menari di udara.
Fatkhur Rokhman (62) dan istrinya, Kartinah (52), adalah penjaga toko ini. Tapi bukan sekadar penjaga, merekalah penyulam angin, perakit harapan, dan pewaris tradisi yang tetap bertahan di tengah gempuran era digital.
“Dulu cuma iseng, anak-anak sering minta dibuatkan layangan. Eh, keterusan sampai sekarang,” kata Fatkhur sambil tertawa kecil, mengenang awal usahanya di tahun 2009.
Awalnya mereka hanya menjual dari dapur rumah. Benang, kertas minyak, bambu. Semua dirakit manual dengan tangan sendiri. Perlahan, “iseng-iseng” itu tumbuh menjadi usaha yang kini menopang hidup mereka. Tahun 2020, mereka berani membuka toko kecil di depan rumah dan menamainya “Toko Pakde”.
“Sekarang kalau musim ramai, sehari bisa dapat sejuta. Tapi pas sepi, ya sekitar dua ratus ribu,” ucap Kartinah sambil merapikan gulungan benang gelasan.
Toko ini bukan hanya tempat transaksi. Ia adalah ruang nostalgia. Tempat di mana anak-anak, orang tua, hingga kolektor layangan mencari bukan cuma barang, tapi juga kenangan masa kecil.
Berbeda dari toko kebanyakan, Toko Pakde merakit sendiri sebagian besar produknya. Dari layangan polos hingga karakter superhero, semuanya dibuat dengan telaten. Tak jarang, mereka menerima pesanan khusus (custom) dari pelanggan tetap.
“Kalau bahannya susah, kadang kami ambil dari Jawa. Tapi tetap kami rakit di sini. Harus pas timbangannya, biar bisa terbang tinggi,” ujar Fatkhur sambil menunjukkan layangan berbentuk ikan.
Toko Pakde menjual lengkap. Mulai dari layangan, benang gelasan, beladu (penggulung benang), sarung jari, ekor, hingga peralatan potong. Harganya bervariasi, dari Rp 3.000 hingga Rp 80.000. Bahkan kini mereka memiliki 7 reseller aktif di berbagai sudut Kota Palangka Raya.
Tapi bagi Fatkhur dan Kartinah, keuntungan bukanlah segalanya.
“Kami cuma ingin permainan ini tetap hidup. Anak-anak sekarang kan banyak main HP, padahal main layangan itu bikin mereka gerak, lari, ketawa,” kata Kartinah pelan.
Di tengah langit Kota Cantik Palangka Raya yang kian penuh gedung, suara benang bergesekan di udara adalah tanda bahwa tradisi belum mati. Bahwa masih ada ruang bagi permainan yang tak butuh Listrik hanya angin, benang, dan hati yang ringan.
Toko Pakde bukan sekadar toko. Ia adalah pengingat: bahwa rezeki bisa datang dari hal sederhana, dan bahwa budaya bisa tetap hidup jika dirawat dengan cinta.
“Kami cuma menjahit angin,” ujar Fatkhur. “Tapi dari angin itu, kami bisa hidup, dan ikut membuat anak-anak tersenyum,” tutupnya. (*)
Penulis: Siti Nur Marifa
Editor: Vinsensius
BACA JUGA : Asrama Jadi Abu, Harapan Tak Pernah Mati