Oleh: APRI, Sampit
LALU lintas pagi itu padat. Di simpang Jalan Jenderal Sudirman Km 3,2, deru kendaraan bersahutan, namun tak satu pun pengemudi yang benar-benar memperhatikan apa yang berdiri tegak di tengah bundaran. Sebuah monumen kayu dan beton dengan ornamen Dayak, menyerupai kendi raksasa. Tugu Perdamaian Sampit, nama yang mungkin hanya sekilas berarti tugu kota, namun sesungguhnya menyimpan kisah panjang tentang luka, air mata, dan tekad untuk tak mengulang kesalahan sejarah.
Monumen ini diresmikan pada Mei 2015 oleh Bupati Kotawaringin Timur saat itu, Supian Hadi. Dibangunnya bukan sekadar hiasan kota, melainkan bentuk pernyataan kolektif masyarakat: bahwa perdamaian bukan sekadar slogan, melainkan warisan yang harus dijaga bersama, setiap hari.
Tahun 2001, Sampit tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai titik konflik etnis paling mengerikan pasca reformasi. Bentrokan antara warga Dayak dan Madura menelan ratusan korban jiwa. Ribuan orang mengungsi. Rumah-rumah dibakar. Ketakutan menggantikan kehangatan antarwarga. Sampit tidak lagi menjadi rumah bagi semua.
Konflik itu menyisakan luka kolektif yang membekas dalam ingatan masyarakat, dan luka itu tidak disembuhkan dengan diam, melainkan dengan dialog, upaya rekonsiliasi, dan kerja keras membangun kembali kepercayaan.
“Tugu ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah tonggak peringatan bahwa damai itu diperjuangkan,” kata Gahara, Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim, saat ditemui pada Senin (16/6/2025).
Menurutnya, masyarakat Dayak dan Madura telah lama kembali hidup berdampingan. Namun ingatan tentang tragedi tidak boleh dilupakan. Bukan untuk membangkitkan dendam, melainkan sebagai pelajaran berharga.
Tugu Perdamaian berdiri dengan bentuk balanga, kendi dalam tradisi Dayak yang menyimbolkan persatuan dan wadah kebersamaan. Pada bagian tengah berdiri sebuah tiang kayu yang diukir khas Dayak—sakral, kuat, dan penuh makna. Di tempat itulah, para tokoh adat Dayak dan perwakilan Madura melakukan deklarasi damai.
Awalnya tugu ini hanya terbuat dari kayu. Namun demi ketahanan, kini diperkuat beton, tanpa menghilangkan unsur kayu sebagai simbol warisan leluhur. Setiap goresan ukiran di sana bercerita. Bukan hanya tentang identitas budaya, tapi juga tentang harapan.
Kini, Tugu Perdamaian tidak hanya menjadi ikon geografis, tapi juga ruang budaya. Di sekeliling bundaran, sering diadakan acara seni, pentas musik tradisional, hingga kegiatan sosial lintas etnis. Di sinilah, anak-anak muda dari berbagai latar belakang duduk bersama, berlatih tari, atau sekadar berbincang.
“Damai itu butuh ruang. Dan tugu ini menciptakan ruang itu,” ujar Gahara.
Ia menambahkan, nilai-nilai dalam monumen ini perlu terus disampaikan ke generasi muda. Bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk mencegahnya terulang.
Ada kalimat bijak yang berbunyi: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.” Di Sampit, sejarah yang dimaksud tidak hanya tertulis dalam arsip atau buku, tapi juga berdiri nyata dalam bentuk tugu. Ia tidak bersuara, tapi kehadirannya mengingatkan kita akan harga sebuah kerukunan.
Tugu Perdamaian Sampit bukan sekadar benda mati. Ia adalah napas dari masyarakat yang memilih berdamai. Ia adalah pelajaran bahwa meskipun kita berbeda, kita tetap bisa saling menjaga. Dan yang terpenting, ia adalah pengingat bahwa dari luka, bisa tumbuh harapan. (*)
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dibuat untuk menggali sisi kemanusiaan di balik sebuah monumen yang kadang terlupakan. Tugu Perdamaian Sampit tidak hanya milik Sampit, tapi milik kita semua sebagai bangsa yang terus belajar mencintai dalam perbedaan.