PALANGKA RAYA – Perjuangan Aldinado Gandrung, pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Kota Palangka Raya, untuk mendapatkan kembali hak atas tanah yang ia beli puluhan tahun lalu terus berlanjut. Tanah yang ia cicil pada 1986–1990 itu kini menjadi objek sengketa di pengadilan.
Dengan angsuran Rp10 ribu per bulan selama 19 bulan, Aldinado meyakini bahwa tanah tersebut telah sah menjadi miliknya. Namun kenyataannya, di atas lahan itu kini berdiri rumah permanen milik orang lain, yakni Marthin Hulen Barat.
Aldinado sempat menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, tetapi majelis hakim menyatakan gugatan tersebut Niet Ontvankelijke (NO) atau tidak dapat diterima. Ia tidak menyerah dan mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya. Upaya itu membuahkan hasil: PT memerintahkan agar perkara tersebut disidangkan kembali di PN Palangka Raya.
Kini persidangan memasuki babak baru. Gugatan Aldinado telah diterima kembali dan proses sidang pun berjalan. Aldinado hadir bersama kuasa hukum serta membawa berbagai dokumen dasar kepemilikan tanah berukuran 30 x 20 meter tersebut.
Aldinado menceritakan bahwa pada masa itu para PNS di Kotamadya Daerah Tingkat II Palangka Raya ditawarkan tanah atau kavling oleh Yayasan Maduratna. Ia kemudian menebus kavling tersebut melalui sistem angsuran. Setelah pembayaran lunas, Yayasan Maduratna mengajukan peningkatan status tanah ke Kantor Pertanahan berdasarkan SK Kotamadya.
Namun, saat terjadi pergantian wali kota yang dijabat Riban Satia, sebagian lokasi tanah dijadikan kawasan hutan kota. Akibatnya, tanah yang telah ditebus Aldinado ikut masuk kawasan tersebut. Sementara itu, beberapa warga lainnya sudah lebih dulu memperoleh peta bidang dari kantor pertanahan.
Sejak itu, proses peningkatan status tanah Aldinado dihentikan sementara oleh BPN. Barulah pada 2023, peningkatan status kembali diperbolehkan berdasarkan SK Walikotamadya.
Pada 2021, pemuktahiran data wilayah juga menyebabkan beberapa tanah dibuatkan Surat Pernyataan Pemilik Tanah (SPPT) akibat perubahan administrasi dari Kelurahan Palangka, Kecamatan Pahandut, menjadi Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya. Penentuan titik koordinat dilakukan berdasarkan arahan BPN dengan tetap melampirkan SK Walikotamadya sebagai dasar utama.
Aldinado turut menjelaskan bahwa pada 2021 Yayasan Maduratna berganti kepemimpinan dari Tuyan kepada anaknya, Amat Tuyan, serta berubah nama menjadi Yayasan Tajahan Antang.
Aldinado dan saudaranya sempat membuat kolam ikan di atas tanah mereka dan mempercayakan pengelolaan lahan kepada warga sekitar. Namun pada 2011, tanah milik adiknya, Aldialtro Gandrung, diserobot oleh Marthin Hulen Barat yang kemudian membangun usaha batako di lokasi tersebut. Sengketa itu bahkan sempat berujung ke Polda Kalteng.
Sementara tanah milik Aldinado sendiri pada 2014 sudah dibangun rumah permanen oleh Marthin. Pada 2024, Aldinado akhirnya mengajukan gugatan setelah berbagai upaya mediasi gagal lantaran Marthin tidak pernah menghadiri proses mediasi.
Marthin berdalih bahwa ia membeli tanah tersebut dari seseorang bernama Jampa Niku. Namun Jampa Niku hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Selain itu, SPPT yang dipegang Marthin menunjukkan batas tanah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Bahkan, SPPT Nomor 594/321/VI/KL-BT/PEM tanggal 27 Juni 2014 atas nama Marthin, dengan ukuran 30 x 20 meter, telah dicabut oleh Lurah Bukit Tunggal, Subhan Noor, S.Hut.
Surya Omega, pemeriksa/pengukur tanah Kelurahan Bukit Tunggal pada 2014, juga menyatakan tidak pernah menandatangani SPPT tersebut karena sejak Februari 2014 ia telah dimutasi menjadi Lurah Palangka. Hal yang sama disampaikan Kasi Pemerintahan Kelurahan Bukit Tunggal 2014, Arina Partrisia, ST, serta mantan Lurah Renteng, yang keduanya mencabut tanda tangan mereka pada dokumen tersebut.
Pencabutan dilakukan karena adanya SK Walikotamadya Daerah Tingkat II Palangka Raya Nomor SK.09.500.I.PEM.VII.1989 Kav.17/C atas nama Aldinado Gandrung dokumen yang menjadi bukti kuat kepemilikan tanah tersebut.
“Ini membuktikan bahwa tanah itu memang milik saya,” tegas Aldinado. Ia berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan seluruh bukti yang telah disampaikan.
“Tentunya saya berharap bisa menang dalam proses sidang yang sedang berjalan ini,” ujarnya.
Sementara itu, Fridking Irawan SH, kuasa hukum Marthin Hulen Barat, menyampaikan bahwa kliennya membeli tanah tersebut dari Jampa Niku, seorang warga yang disebut sebagai penggarap lahan.
“Tanah ini dijual kepada klien saya. Kemudian dibuat perjanjian jual beli di rumah ketua RT setempat. Atas dasar itu dibuat Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang ditandatangani RT, lurah, dan camat. Nomor register dan titik koordinatnya jelas dan terdaftar. Jual beli ini terjadi pada 2013,” jelasnya.
Fridking menambahkan, setelah membeli tanah pada 2013, kliennya membangun rumah sekaligus meningkatkan surat kepemilikan tanah.
Terkait mediasi, ia menjelaskan bahwa memang ada upaya mediasi pada 2024, setelah SKT milik Aldinado terbit.
“SKT mereka terbit 2021, sedangkan klien saya SKT-nya terbit 2014. Di 2024 baru mereka meminta mediasi,” pungkasnya.
Diketahui sengketa tanah tersebut sudah dilakukan sidang lapangan oleh majelis hakim dari Pengadilan Negeri Palangka Raya. (cen)



