Dari Huruf ke Harapan! Kisah Sekolah Rakyat Kotim Membentuk Generasi yang Tak Menyerah

kotim
Siswa-siswi Sekolah Rakyat Kotim saat menjalani kegiatan matrikulasi atau masa pengenalan pelajaran, Selasa (21/10/2025). Foto: Apri

SEBUAH gedung sederhana berdiri di kawasan Islamic Center Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Dari luar, mungkin tampak biasa hanya bangunan kecil dengan cat yang mulai pudar. Tapi di dalamnya, tersimpan cerita besar tentang perjuangan, semangat, dan harapan.

Di tempat itulah berdiri Sekolah Rakyat Kotim, rumah belajar bagi anak-anak yang pernah tersisih dari sistem pendidikan formal. Di sini, setiap tawa anak bercampur dengan tekad guru yang tak kenal lelah.

Pagi itu, matahari baru menanjak di langit Sampit. Suara nyanyian anak-anak menggema di halaman sekolah, mengiringi langkah-langkah kecil menuju ruang kelas. Mereka tengah menjalani kegiatan matrikulasi masa pengenalan pelajaran yang menjadi gerbang menuju pembelajaran penuh bulan depan.

“Sekarang kami fokus mengenalkan dasar-dasar pelajaran dan membentuk karakter siswa,” ujar Nikkon Bhastari, Kepala Sekolah Rakyat Kotim, saat ditemui Selasa (21/10/2025).

Dari lebih dari seratus siswa yang terdaftar tahun ini, sekitar tiga puluh anak tingkat SD belum mampu membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, di tingkat SMA masih ada tiga siswa dengan kesulitan serupa.

Namun bagi Nikkon dan timnya, itu bukan hambatan melainkan tantangan yang harus diselesaikan dengan hati.

“Beberapa dari mereka sempat putus sekolah. Ada juga yang dulu sudah belajar tapi belum bisa calistung. Kami ajarkan lagi dari awal. Tidak apa-apa lambat, yang penting mereka tidak menyerah,” katanya dengan senyum lembut.

Hari-hari pertama masa adaptasi tidak selalu mudah. Nikkon mengenang, banyak siswa baru yang datang tanpa terbiasa berbicara sopan, tak mengenal salam, bahkan sering saling mengejek.

“Jadi kami bentuk ulang karakternya. Kami ajarkan menyapa dengan hormat, berbicara sopan, saling menghargai. Karena pendidikan sejati bukan cuma tentang angka, tapi juga tentang adab,” ujarnya.

Sekolah Rakyat Kotim menerapkan kurikulum nasional plus dengan pendekatan MEME (Multi-Entry, Multi-Exit) sistem belajar yang menyesuaikan kemampuan dan minat masing-masing siswa.

“Kalau anaknya cepat memahami pelajaran, dia boleh maju ke tahap berikutnya. Kalau masih kesulitan, kami bantu lebih lama. Di sini tidak ada kata tertinggal. Semua punya ritme sendiri, semua berhak maju dengan caranya masing-masing,” jelasnya.

Pendekatan itu menciptakan suasana belajar yang penuh penghargaan. Tidak ada tekanan untuk bersaing, tidak ada rasa malu karena harus belajar dari awal. Yang ada hanyalah ruang aman bagi anak-anak untuk kembali menemukan kepercayaan diri.

“Target kami tahun ini adalah pembentukan karakter. Bulan depan fokus pada pengetahuan, dan tahun depan kami ingin melihat perubahan nyata anak-anak yang tahu siapa dirinya dan mau melangkah menuju masa depan,” ucap Nikkon penuh keyakinan.

Di balik program dan metode yang dijalankan, tersimpan filosofi sederhana: pendidikan bukan soal kecepatan menguasai pelajaran, tetapi sejauh mana anak berani bermimpi dan berusaha menggapainya.

Sekolah Rakyat Kotim bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang harapan bagi anak-anak yang dulu tertinggal, bagi guru-guru yang berjuang di tengah keterbatasan, dan bagi masyarakat yang percaya bahwa setiap anak berhak mendapat kesempatan kedua.

Di sekolah ini, huruf-huruf yang dulu asing kini mulai membentuk kata. Kata-kata itu menjelma kalimat, lalu doa, lalu harapan.

Dan di setiap senyum yang lahir di ruang kelas sederhana itu, tersimpan satu tekad yang sama:
bahwa pendidikan sejati bukan diukur dari nilai rapor, melainkan dari keberanian anak-anak untuk terus berjalan. Tak peduli seberapa sering mereka harus mulai dari awal. (*)

Penulis: Sindy Apriansyah

Editor: Vinsensius

BACA JUGA : Menanam Harapan di Tanah Hulu, Kisah Sekolah yang Melawan Budaya Emas