DI pedalaman Kalimantan, tepatnya di Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, berdiri sebuah sekolah yang menolak menyerah pada keterbatasan. Jalan rusak, sinyal sulit, dan bukit-bukit terjal adalah pemandangan sehari-hari, tetapi semangat di SMAN 1 Katingan Hulu tetap menyala terang.
Dengan hanya 19 guru mengampu 347 siswa dan fasilitas yang serba terbatas, sekolah ini melawan arus budaya instan yang tumbuh dari aktivitas tambang emas ilegal. Di desa-desa sekitar, mendulang emas sudah jadi tradisi turun-temurun cepat menghasilkan, tanpa ijazah, dan dianggap jalan paling pasti untuk bertahan hidup.
Namun bagi Dina Fahdiani, Kepala SMAN 1 Katingan Hulu, pendidikan tidak boleh kalah oleh emas.
“Anak-anak kami pintar, tapi jika terus melihat emas sebagai satu-satunya jalan hidup, maka pendidikan akan kehilangan maknanya. Kami ingin mereka belajar dari tanahnya sendiri menanam, merawat, dan memanen. Dari situ lahir nilai sabar, kerja keras, dan kemandirian,” ujarnya, belum lama ini.
Dari keprihatinan itu lahirlah Program Ketahanan Pangan Sekolah, gerakan belajar berbasis praktik yang mengubah lahan kosong di halaman sekolah menjadi kebun produktif. Kini, deretan kangkung, bayam, dan sawi tumbuh subur di sana. Para murid membangun sistem hidroponik sederhana, membuat kompos dari dedaunan, dan belajar mengenali musim melalui perubahan cuaca.
Program ini bukan sekadar menanam sayur, tapi menanam karakter. Setiap kegiatan dikaitkan dengan mata pelajaran. Hasil panen dihitung di pelajaran matematika, proses tumbuh tanaman dipelajari di biologi, dan pengalaman berkebun ditulis dalam esai di kelas bahasa Indonesia. Sekolah berubah menjadi laboratorium hidup tempat siswa belajar berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkomunikasi.
Rahmat, siswa kelas XI, mengaku awalnya enggan ikut kegiatan itu. “Dulu saya pikir kerja kebun itu capek dan nggak keren. Tapi setelah tahu hasilnya bisa dimakan dan dijual, saya jadi semangat. Apalagi pas foto kami viral di Instagram sekolah, bangga banget,” ujarnya sambil memamerkan kangkung hasil tanamannya.
Namun perjuangan sekolah ini tak mudah. Di daerah yang dikelilingi tambang emas ilegal, ajakan untuk “langsung cari uang” selalu menghantui.
“Ada yang bilang, buat apa belajar nanam, ke sungai aja bisa dapat duit. Tapi kami tidak marah, kami ajak dialog. Kami ajak mereka lihat prosesnya,” kata Dina.
Baginya, budaya instan tidak bisa diubah lewat nasihat, tapi lewat pengalaman nyata. Panen pertama menjadi titik balik. Siswa yang dulu acuh kini bersorak saat hasil kebun mereka dibeli guru atau warga sekitar.
“Rasanya lebih bangga dari dapat nilai 100,” tambahnya.
Program ini juga melibatkan orang tua, penyuluh pertanian, dan alumni. Guru membentuk komunitas belajar dua mingguan untuk berbagi metode sekaligus belajar dari praktisi lokal. Sebagian hasil panen dikonsumsi di sekolah, sebagian dijual untuk mendanai kegiatan berikutnya.
Kini sekolah tengah menyiapkan pengembangan produk olahan seperti keripik bayam dan pupuk organik kemasan. Data internal menunjukkan, lebih dari 75 persen siswa menunjukkan peningkatan karakter dan keterampilan sosial lebih aktif berdiskusi, bekerja sama, dan berani menyampaikan ide.
SMAN 1 Katingan Hulu bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menanamkan masa depan. Di tengah gemerincing emas di sungai-sungai hulu, mereka memilih menanam harapan di tanah. Dan dari sayur yang tumbuh, mereka memanen lebih dari sekadar hasil kebun mereka memanen kesadaran, karakter, dan masa depan yang lebih lestari. (*)
Penulis: Siti Nur Marifa
Editor: Vinsensius
BACA JUGA : Merekam Keindahan Alam, Menginspirasi Lewat Lensa