Sengketa Tanah Petak Palaku Buntu Fordayak Lakukan Ritual Hinting Pali, Hj. Fatmi Siap Tempuh Jalur Hukum

HINTING PALI: Ketua dan Anggota Fordayak Kalteng usai menggelar ritual adat Hinting Pali di kediaman Hj. Fatmi, guna menuntut penyelesaian sengketa lahan di Jalan Gurame, Kota Palangka Raya. INSERT: Hj. Fatmi didampingi kuasa Hukum, Sitmar HI Anggen dikonfirmasi awak media terkait sengketa lahan, Senin (8/5/2023). Foto: Ist

PALANGKA RAYA–Puluhan anggota Ormas Forum Pemuda Dayak (Fordayak) Kalteng menggelar Ritual Adat Hinting Pali, di kediaman Hj. Fatmi yang merupakan warga Jalan Tenggiri, Kota Palangka Raya, Senin (8/5/2023).

Ketua Fordayak Kalteng, Bambang Irawan, disela berlangsungnya ritual Hinting Pali menjelaskan, pokok permasalahan berawal dari terjadinya penyerobotan tanah petak palaku atau tanah yang menjadi persyaratan nikah adat Dayak miliknya .

“Awalnya, tanah yang menjadi sengketa adalah tanah Petak Palaku milik saya dengan ukuran 30 m x 80 m. Tiba -tiba pada tahun 2018 tanah tersebut digarap dengan ekskavator. Padahal saya sudah mengingatkan bahwa tanah tersebut ada pemiliknya. Bahkan saya sudah melakukan mediasi dengan Hj. Fatmi yang mengaku mengantongi sertifikat sejak 2003, dimana dalam sertifikat tersebut disebutkan jalan yang menjadi titik lokasi tanah adalah jalan Tingang, bukan jalan Gurame,” ucapnya.

Dijelaskannya, setelah dilakukan mediasi pada 2018, pihaknya melihat tidak ada aktivitas hingga akhir 2019. Namun pada 2020, mulai ada pembangunan kawasan perumahan dan pihaknya kembali meminta persoalan tanah tersebut diselesaikan terlebih dahulu.

“Saya sudah bilang, ayo kita duduk bersama dan berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan. Kemudian 2022, saya kembali menegaskan pada yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalah, namun tidak ditanggapi bahkan dari pengacara kami telah memberikan surat somasi I, II, III dan IV, yang artinya secara administrasi kenegaraan sudah kami lakukan, termasuk secara organisasi telah menyurati Hj. Fatmi untuk menyelesaikan permasalahan,” ujarnya.

Kendati demikian, sambungnya, ia secara pribadi dan keorganisasian menghormati langkah hukum yang diambil Hj. Fatmi, dengan menyewa jasa pengacara dan melakukan pertemuan di Poltesta Palangka Raya.

“Ternyata hasil pertemuan di polresta pada saat itu tidak menemukan titik temu, sehingga hari ini kita melaksanakan ritual Hinting Pali, karena secara adat kami merasa ada hak orang Dayak yang dilanggar dan dalam waktu tiga tahun tidak ada itikad baik menyelesaikan baik-baik,” tandasnya.

Ditegaskannya, hinting pali yang tetap dipasang dan proses hukum adat akan tetap berlangsung, hingga Hj. Fatmi mau menyelesaikan permasalahan.

“Kami tetap menerima bila yang bersangkutan mau menyelesaikan permasalahan baik-baik. Namun apabila setelah hinting pali dilakukan tidak ada itikad baik, maka proses adat akan tetap berjalan dan kemungkinan terburuknya melalui putusan hukum adat, kami akan melakukan pengusiran terhadap bersangkutan karena tidak menghormati adat Dayak di Kalteng,” tegasnya.

Sementara Hj. Fatmi selaku warga yang mengantongi sertifikat resmi menyampaikan objek yang menjadi sengketa berada di Jalan Gurame dan bukan Jalan Tenggiri.

Menurutnya, sertifikat tanah yang saat ini menjadi sengketa dikeluarkan pada 2003 dan telah divalidasi BPN sekaligus dibeli resmi pada 2015, dimana prosesnya diperkuat akta notaris.

“Artinya saya tidak membeli tanah tersebut dengan sembarangan dan saya rawat. Bahkan sampai 2020, saya bangun perumahan disitu tidak pernah ada pengaduan masyarakat. Sebelum pembangunan itu, saya memvalidasi ulang ke BPN hingga dikeluarkanlah IMB dan tanah tersebut sudah dipecah menjadi lima. Dalam arti sudah bukan atas nama saya lagi,” ucap Fatmi, dilansir dari Kalteng.co, Senin (8/5/2023).

Dijelaskannya, apabila Fordayak mempermasalahkan tanah di Jalan Gurame, seharusnya mengkonfirmasi dengan pemilik tanah sebelumnya.

“Yang saya pertanyakan kenapa justru saya yang diributkan. Seharusnya kalau mau diributkan adalah pemilik tanah sebelumnya karena saya membeli tanah tersebut resmi, bukan mengambil milik orang lain,” ujarnya.

Ia membenarkan, sebelumnya memang sudah dilaksanakan mediasi di Polresta Palangka Raya. Namun berakhir buntu, karena pihak Bambang Irawan yang merasa tanah tersebut merupakan haknya tidak mau membayar pajak dan menaikan peta bidang ke BPN.

“Saya mau mediasi asalkan di polresta. Karena mereka selama ini mengajak saya mediasi di luar dan jelas saya tidak mau. Sebelumnya saat mediasi di polresta, saya datang dan memang mediasi menemukan jalan buntu, karena mereka mengaku tanah tersebut merupakan haknya tetapi tidak mau membayar pajak dan menaikan peta bidang dengan alasan prosesnya terlalu ribet dan makan waktu lama,” tandasnya.

Bahkan, sambungnya, pihak Bambang Irawan meminta bangunan yang saat ini berdiri di tanah objek sengketa untuk diratakan.

“Tidak bisa seperti itu. Kalau mau meratakan bangunan yang ada harus melalui keputusan pengadilan, sedangkan sampai saat ini belum ada keputusan pengadilan dan segala sesuatu yang menyangkut sengketa harus diselesaikan melalui jalur hukum karena negara kita merupakan negara hukum,” ungkapnya.

Disaat yang sama, kuasa hukum Hj. Fatmi, Sitmar HI Anggen, mengatakan pihaknya telah menyurati Fordayak agar tindakan yang akan dilaksanakan sesuai prosedur hukum negara yang berlaku di Indonesia.

“Kami sudah menyurati Fordayak, artinya tindakan apa yang ingin dilakukan silakan saja selama sesuai jalur hukum berlaku. Apabila tetap melakukan hinting pali itu sudah menyalahi aturan karena prosesi ritual tersebut harus dilakukan Damang, tidak boleh dilakukan ormas. Saya juga orang Dayak dan mengerti hal seperti itu, namun kita tidak memasuki konteks tersebut. Karena tindakan yang dilakukan mereka yakni melakukan hinting pali di objek yang berbeda sudah melanggar hukum, karena lokasi ini tidak ada hubungannya sama sekali,” tandasnya.

Kendati demikian, apabila Fordayak merasa tidak menerima, pihaknya siap bila Fordayak ingin menggugat permasalahan sengketa tersebut ke pengadilan.

“Kami tidak akan menggugat, tetapi apabila Fordayak merasa tidak terima, maka gugatlah kami ke pengadilan hukum negara. Namun kami tetap meminta agar pihak Fordayak bisa melihat secara jernih permasalahan ini, sehingga tidak terkesan menimbulkan sebuah konflik yang menyeret adat istiadat serta budaya Dayak,” tutupnya. (ina/cen)