BEBERAPA waktu lalu menjadi perbincangan di berbagai media sosial mengenai sosok yang biasa disebut ‘Gresaids’ atau Dea Onlyfans itu berawal pada saat ia tengah viral karena mengunggah konten yang dinilai tidak pantas, melalui situs bernama OnlyFans.
Diketahui, Dea ditangkap atas tuduhan kasus dugaan pornografi dengan modus mendagangkan foto-foto vulgar di situs online. Ia dijerat undang-undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam kasus tersebut.
Yang menjadi menarik pada kasus ini adalah dalam pemeriksaan kasus video syur disebutkan seorang komedian dengan inisial M sebagai tersangka yang telah membeli video porno dari konten kreator Dea onlyfans tersebut.
Beberapa Public Figure dan warganet menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah. Hanya saja dunia maya kembali memanas saat polisi mengatakan akan memanggil komedian tersebut untuk dimintai keterangan.
Banyak warganet yang geram dengan hal tersebut. Banyak yang berpikir bukan lagi hal yang tabu kalau seseorang yang sudah cukup umur mengonsumsi hal-hal seperti itu. Hanya saja sepertinya aturan di Indonesia bertolak belakang dengan opini kebanyakan masyarakat.
Pada dasarnya, mengenai jual beli konten pornografi sudah diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Singkatnya UU tersebut menjelaskan dilarangnya perdagangan konten pornografi.
Selanjutnya tercantum pada Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pornografi yang singkatnya berisi setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi secara eksplisit.
Semakin ditegaskan dalam Pasal 5 kalau Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1).
Dapat disimpulkan, setelah semakin ditilik yang menjadi permasalahan disini bukan soal konten yang dikonsumsi pribadi melainkan dilarangnya transaksi itu sendiri sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 5 UU Nomor 44 Tahun 2008. (*)
Penulis: Awza Azzahro (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya)