PALANGKA RAYA – Rektor Universitas Palangka Raya (UPR), Dr Andrie Elia mengatakan, saat ini belum ada konstruksi konstitusi yang jelas tentang wilayah adat. Hal tersebut disampaikan Andrie Elia saat diundang eksklusif menjadi pemateri dalam kegiatan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur di Hotel Pondok Family Kota Sampit.
Kegiatan yang digelar mulai dari 25 – 27 Januari 2022 diikuti oleh 17 Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan dan Damang Kepala Adat se-Kabupaten Kotim.
Beragam materi yang disampaikan Rektor Dr Andrie Elia dalam kegiatan tersebut. Tetapi dalam inti materinya lebih kepada aturan yuridis yang berkenaan dengan konsensus negara hukum dalam bingkai NKRI dan aturan hukum adat, secara khusus adat dayak.
“Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 1 ayat ke 3 setelah amandemen ketiga yang disahkan pada 10 November 2001,” ucap Rektor saat menyampaikan pengantar materi.
Lanjutnya terkait dengan eksitensi hukum adat yang berada di bawah kelembagaan adat dayak, maka hal itu berangkat dari Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng Nomor 16 tahun 2008 yang telah diubah dengan Perda No. 01 tahun 2010.
“Dari perda tersebut dapat ditemukan beberapa aturan yang menjadi dasar. Yakni UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang penetapan UU darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah,” ucapnya.
Dijelaskannya, bahwa daerah Swatantra adalah salah satu dari dua bentuk daerah dalam Republik Indonesia. Bentuk alternatifnya adalah daerah istimewa daerah Swatantra. Istilah tersebut juga sudah dipakai dalam surat menyurat resmi.
Dirinya juga menjabarkan, ada beberapa UU pendukung dalam Perda Provinsi Kalteng No. 16 Tahun 2008 tentang eksistensi masyarakat adat dan pendukung lainnya. Yakni UU No. 05 1961 tentang peraturan dasar pokok agraria.
Undang – undang ini menjadi lex generali yang didalam isinya mengakui secara deklaratoir tentang hak ulayat. Kemudian ada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 41 Tahun 1999 dan UU No 31 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Kemudian, dengan aturan tersebut, maka hadirlah istilah kedamangan, masyarakat adat dan hukum adat. Dengan adanya aturan itu, maka hadirlah berbagai istilah. Seperti kedamangan yang merupakan lembaga adat dayak yang diakui sebagai organisasi kemasyarakatan, kedamangan memiliki wilayah adat.
“Tapi saat ini belum ada konstruksi konstitusi yang jelas tentang wilayah adat yang dimaksud. Sinkronisasi Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang itu belum ada,” tegasnya.
Walau demikian dalam hukum positif disebutkan, bahwa yang memiliki wilayah adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki norma adat, perangkat hukum adat dan pengakuan pemerintah tentang kesatuan masyarakat hukum adat tersebut.
“Saya mengimbau, agar kelembagaan adat di Kalteng bisa menunjukkan eksistensinya,” imbuhnya. (rul/abe)